Rekonsiliasi dalam Bayang-Bayang “Dendam” Politik

Opini Oleh: H A Adib Hambali.

POLEMIK Peristiwa G30S/PKI muncu menjelang 30 September 2017. Ini mengundang pertanyaan bagaimana upaya rekonsiliasi selama ini.

Adalah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak berlaku. Dengan begitu, mereka yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (eks PKI), dikembalikan hak konstitusionalnya, diperbolehkan menjadi calon legislatif (caleg).

Bagi yang setuju, putusan itu tepat karena mengembalikan hak warga negara dari para tahanan politik (tapol) yang dirampas rezim Orde Baru. Hal itu  sebagai awal proses rekonsiliasi, sehingga hukum bisa membantu memulihkan upaya rujuk nasional itu.

Namun tidak  semata dari hukum. Rekonsiliasi terjadi dari dalam, dari hati ke hati.  Yang terpenting menghilangkan ”dendam” politik akibat perjalanan sejarah di era 1960-an itu.Namun perlu tetap jujur pada sejarah. Jangan seakan-akan mereka tidak bersalah serta menghilangkan peristiwa pemberontakan.

Adalah Ketua Paguyuban Korban Orde Baru dan Ketua Umum Penelitian Korban Pemerekalah 7a 1965,  Ribka Tjiptaning Proletariyati saat itu menilai keputusan MK terlambat. Penulis buku ‘Aku Bangga Menjadi Anak PKI’ itu menegaskan yang terpenting mencabut Tap MPRS XXV/Tahun 1966 tentang  PKI sebagai organisasi terlarang.

Majelis Hakim dari International People’s Tribunal  (IPT), menyatakan Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan atas pembunuhan massal 1965. Keputusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Zakeria Jacoob itu ditayangkan melalui pemutaran video di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Rabu, 20 Juli 2016.

Dalam putusan itu, majelis juga merekomendasikan, pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban dan keluarga mereka, termasuk  melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Majelis hakim menyatakan pembunuhan massal yang memusnahkan PKI bisa dikategorikan dalam kejahatan berdasarkan Konvensi Genosida tahun 1948. Ini berarti genosida di Indonesia harus dimasukan dalam genosida utama di dunia pada abad ke-20. (Nursyahbani, Rabu, 20 Juli 2016, di YLBHI, Jakarta, tempo.com).

Tidak meleset pendapat, sejak gerakan reformasi l998 bergulir, sudah melihat tanda-tanda PKI bangkit kembali. Hal itu bisa dilihat dari isu dan arah gerakan yang mendompleng pada gerakan penggulingan rezim Soeharto. Mereka tinggal mencari legalitas.

Nah, keputusan MK menjadikan mereka bebas bergerak lewat parpol. Kalau mereka menjadi anggota Dewan, tentu akan bekerja keras untuk mendapatkan dukungan.

Keputusan itu tidak bebas-sebebasnya, melihat UU 7/1999 tentang Pembahasan KUHP yang berkaitan dengan makar dan komunis dalam Tap MPR No XXV, yang tidak dicabut. Tidak ada dosa keturunan, tapi harus memperhatikan berbagai kondisi. Amerika Serikat (AS) yang sudah maju dalam berdemokrasi masih menolak ideologi komunis.

Rekonsiliasi akan terjadi dengan syarat menghilangkan “dendam politik” dan tetap mencatat peristiwa G30S/PKI adalah bagian dari “sejarah hitam” yang harus dijadikan pelajaran bagi bangsa.

Penulis:  HA Adib Hambali: mantan aktivis  salah satu pendiri PMII Cabang Bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *