Analisis Berita:Oleh HA Adib Hambali
PENGURUS Besar lkatan Dokter lndonesia (PB lDl), mengeluarkan rilis pers yang diterima redaksi, Senin (9/4), bahwa pengurus di tingkat pusat perlu dan wajib menyesalkan tersebarnya surat keputusan Majelis Kedokteran (MKEK) yang bersifat internal dan rahasia, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat.
MKEK adalah unsur di dalam lDl yang bersifat otonomberperan dan bertanggung jawab mengatur kegiatan internal dalam bidang etika kedokteran. Bahwa keputusan MKEK yang bersifat internal itu selanjutnya direkomendasikan kepada PB lDl untuk proses.
Bahwa tindakan terapi dengan menggunakan metode Digitat Angiogram atau lebih dikenal oleh awam dengan sebutan Brain Wash menimbulkanperdebatan secara terbuka dan tidak pada tempatnya di dokter.
Hal ini lebih menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan berpotensimenimbulkan perpecahan di kalangan dokter. Berdasarkan Peraturan Presiden(Perpres) No.12 tahun 2011 yang selanjutnya dirubah dengan No.111 bahwa penilaian teknologi kesehatan dilakukan oleh Tim Health T, Assessmenf(HTA) yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan.
Berdasarkan ART lDl terkait hak pembelaan anggota lDl, PB telah melaksanakan forum pembelaan terhadap DR.Dr.Terawan Agus Putranto(Dr.TAP) pada tanggal 6 April 2018.
Menindaklanjuti hal ini , berdasarkan Anggaran Dasar (AD) lDl 17 butir 4 danAnggaran Rumah Tangga (ART) lDl Pasal 18 ayat (1) butir c memberikankewenangan kepada Ketua Umum PB lDl, maka dilaksanakan rapat PimpinanPusat (MPP) pada tanggal 8 April 2018 yang dihadiri oleh seluruh pimpinan pusat yaitu Ketua Umum PB lDl, Ketua MKEK, Majelis Kolegium Kedokteran I (MKKr),dan Majelis Pengembangan Pelayanan Kedokteran (MPPK).
Rapat memutuskanbahwa PB lDl menunda melaksanakan putusan MKEK. Olehkarenanya ditegaskan bahwa hingga saat ini DT.TAP masih berstatus anggota lDl. Selain itu, MPP merekomendasikan penilaian terhadap terapi denganmetode DSA/Brarn Wash dilakukan oleh Tim Health TechnologyKementerian Kesehatan Rl. Demikian Ketua PB IDI Ilham Oetama.
Seperti diketahui, sebelumnya terjadi pro-kontra di bidang kedokteran. IDI memberikan sanksi kepada Dr TAP berupa pemecatan selama 12 bulan. Dia dipecat dari keanggotaan IDI sejak 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.
Keputusan diambil setelah sidang MKEK PB IDI menilai dokter dinilai melanggar etika kedokteran serius (serious ethical missconduct). Terawan dianggap mengabaikan Pasal 4 dan 6 dari 21 Pasal Kode Etik.
Pada Pasal 4 tertulis bahwa ”Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”. Adapun Pasal 6 berbunyi: ”Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”
Sebenarnya tidak akan jadi persoalan yang menimbulkan pro-kontra jika Terawan hanya seorang dokter biasa.Karena banyak politikus dan pejabat, antara lain mantan presiden Try Sutrisno dan mantan ketua BIN Hendropriyono, menjadi pasien yang dilakukan oleh Kepala RSPAD Gatot Subroto itu, maka keberatan atas pemecatan pun terjadi.
Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar pemecatan itu dikaji ulang. Reaksi resmi dari pemerintah juga telah muncul. Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan, Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Mayor Jenderal Dr TAP masih tetap di tim medis kepresidenan.
Moeldoko menyatakan, RSPAD adalah rumah sakit rujukan bagi presiden. Pemecatan dari IDI dianggap tidak memengaruhi posisi Terawan.Sebenarnya relatif mudah untuk tak melanggar Pasal 4 Kode Etik IDI.
Dengan tidak mengiklankan lewat siapa pun metode ”cuci otak” yang dilakukan, Dr TAP akan terbebas dari hukuman pelanggaran. Juga para pasien sebaiknya menahan diri untuk tidak memaparkan keberhasilannya di media apa pun.
Usulan Hendropriyono agar Terawan mendapat hadiah nobel memang terasa berlebihan untuk sebuah metode yang masih harus diuji keilmiahannya. Jalan keluar lain yang bisa ditempuh adalah mengikuti kehendak Pasal 6 Kode Etik IDI.
Seharusnya TAP berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya. Sebaiknya menunggu TAP bersedia menjalani ”ujian keilmiahan” dan IDI jangan segan-segan mengakui kehebatan TAP kalau memang metode itu berguna untuk dunia kesehatan.(*)
HA Adib Hambali, Redaktur senior di Bojonegoro