Jakarta–Detakpos– Di tengah keriuhan berita mengenai susunan Kabinet Indonesia Maju, Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau dr Sidipratomo menyebutkan,
PMK tertanggal 21 Oktober 2019 menyebutkan, kenaikan tarif cukai rata-rata sekitar 20% disertai kenaikan harga jual minimum bervariasi.
Dikatakan, ambisi Jokowi menggenjot pembangunan SDM sudah mulai menunjukkan indikasi real, yaitu dengan keputusan menaikan cukai rokok serta harga jual minumum yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 tahun 2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Rata-rata kenaikan tarif cukai tercatat sekitar 20%, dengan disertai kenaikan harga jual minimum bervariasi.
Khusus untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I yang menguasai 63% pangsa pasar Indonesia, tercatat kenaikan tarif cukai 25% disertai kenaikan harga jual minimum 65%.
Artinya, jika harga sebungkus rokok SKM I di kisaran Rp 17 ribu, /bungkus, maka tahun depan diperkirakan harga jual di pasaran melonjak hingga Rp 27 ribu/bungkus
Meskipun angka tersebut masih jauh di bawah angka yang akan membuat perokok berhenti merokok, yaitu Rp 60 – 70 ribu berdasarkan survei Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (2018), namun ini kemajuan.
Kementerian Keuangan yang kembali dipimpin Sri Mulyani patut diapresiasi dan dianggap telah mendengarkan masukkan masyarakat mengenai pentingnya menaikkan cukai setinggi-tingginya yang akan berperan menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
“Kami mengucapkan selamat kepada Ibu Sri Mulyani yang kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Maju 2020 – 2024, dan kami juga berterima kasih atas keluarnya PMK tentang kenaikan cukai tahun ini yang setidaknya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar dr. Prijo Sidipratomo, Rabu (23/10).
Menurutnya, Kementerian Keuangan telah melakukan langkah tepat dan berani demi perlindungan masyarakat dari produk berbahaya. Untuk itu, dia mengharapkan masyarakat terus mendukung Kementerian Keuangan dengan niat baik tersebut.
Sayangnya masih ada _loop hole_ dalam PMK ini. Jumlah tarif yang tidak berubah, yaitu masih 10 tingkatan, akan mengurangi efektivitas kenaikan cukai.
“Sebab, perokok SKM I masih bisa berpindah ke SKM IIA atau IIB, dan seterusnya. Akibatnya, target menurunkan prevalensi perokok terhambat karena ada pilihan harga rokok lebih murah. Penyederhanaan tarif sangat penting dalam penerapan cukai rokok,” ujar Prijo menambahkan.
Ia berharap, Pemerintah semakin tajam dalam memutuskan kenaikan cukai dengan memikirkan tujuan utama menurunkan jumlah perokok. Karena perlu kembali diingat, cukai adalah salah satu intervensi yang paling efektif untuk mengurangi perokok.
Kenaikan 10% dari harga akan menurunkan prevalensi merokok sekitar 4% di negara berpenghasilan tinggi dan sekitar 8% di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Prabhat Jha, Frank J Chaloupka, 2010).
Kenaikan cukai juga dapat mempengaruhi distribusi pendapatan penduduk secara positif (Ross & Chaloupka, 2006) dan kenaikan cukai yang diiringi kenaikan harga akan mendorong penurunan konsumsi barang tak produktif pada keluarga miskin yang saat ini belanja terbesar keduanya adalah rokok (BPS, 2018).
Karena itu, jika Presiden Jokowi menginginkan peningkatan pendapatan orang Indonesia sampai Rp 27 juta per bulan pada 2045 seperti yang disampaikan dalam pidato pelantikannya beberapa waktu lalu, salah satu hal yang harus difokuskan adalah pengendalian konsumsi rokok yang salah satunya dengan menaikkan cukai setinggi-tingginya secara efektif dan tepat sasaran, selain juga menerapkan kawasan tanpa rokok dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.(d/2).
Editor: AAdib