Jakarta–Detakpos– Peningkatan angka konsumsi rokok pada anak di Indonesia mengkhawatirkan. Fenomena ”baby smoker ” atau perokok bayi tidak pernah hilang dan masih terus bermunculan di pelosokpedesaan dengan usia yang semakin muda.
Kejadian yang masih terus berulang ini telah mencoreng nama Indonesia di dunia internasional. Tahun 1995, sebanyak 9,6 persen penduduk usia 5-14 tahun mulai mencoba merokok. Pada 2001, jumlah ini naik jadi 9,9 persen, kemudian terus melonjak hingga 19,2 persen pada 2010.
Angka-angka tersebut saat ini terus memburuk. Hal ini amat mengkhawatirkan, mengingat anak usia 5-14 tahun seharusnya masih di bawah pengawasan orangtua. Sedangkan para orang tua masih banyak yang menjadi perokok dan belum mendapat informasi serta pengetahuan yang benar tentang bahaya rokok.
Baru-baru ini kembali ditemukan balita perokok, Rapi Ananda Pamungkasasal Cibadak, Sukabumi belum genap berusia dua tahun.
Kasus Rapi ini sangat memprihatinkan, selain karena usianya yang masih amat muda, konsumsi merokoknya perhari amat tinggi, melebihi orang dewasa pada umumnya.
Ini memperlihatkan bahwa usia pertama kali merokok pada anak-anak semakin dini. Setelah mencoba merokok dan terkena racun adiksi nikotin, anak-anak akan terus menjadi perokok dengan jumlah batang yang dihisap per harinya semakin banyak.
“Sungguh ironis, di saat Kementerian Kesehatan menggalakkan GERMAS (Gerakan Masyarakat Untuk Hidup Sehat) kejadian Baby Smoker masih terus ada, bukan terjadi pada anak SD atau TK, tapi pada bslita yang bahkan belum berusia 2 tahun,” ujar dr. Sumarjati Arjoso, SKM, Ketua TCSC IAKMI dalam rilis yang diterima, Selasa (2/10).
Ini kesalahan semua pihak. Dimulai dari perokok yang membuang rokok sembarangan, orang tua dan lingkungan yang merokok dekat anak-anak, penjualan rokok tanpa pembatasan, iklan rokok yang masif menyasar anak dan remaja,
“Untuk itu pemerintah perlu segera membuat aturan yang tegas guna menghambat munculnya baby smoker baru!” Demikian papar dr. Sumarjati.
Rita Pranawati, MA, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setuju bahwa, “Perlu peran negara untuk melindungi anak dari racun adiksi rokok.”
Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tapi juga masyarakat luas dan keterlibatan semua pihak berperan penting untuk menciptakan anak Indonesia yang berkualitas bebas dari asap rokok. Inilah satu-satunya cara menghambat munculnya bayi-bayi perokok baru.
Ketua No Tobacco Community, Ir. Bambang Priyono, M.T menelusuri jejak Rapi Ananda sampai ke rumahnya. “Awal mula anak ini merokok dari memungut puntung-puntung rokok yang ada di halaman rumah sampai akhirnya kecanduan,” tuturnya.
Lebih jauh Bambang mendapati bahwa kondisi Rapi dipicu oleh ayah perokok dan Ibu berjualan rokok. Selain itu Rapi juga amat sadar dengan iklan rokok walapupun iklannya tidak menampilkan produk rokok. Jika melihat iklan rokok, Rapi langsung spontan minta dibelikan rokok dan tidak akan berhenti memaksa dengan segala cara hingga keinginannya terpenuhi.
Penelitian TCSC IAKMI pada tahun 2017 di 15 Kota/ Kabupaten menemukan bahwa, anak dan remaja usia dibawah 18 tahun paling banyak terpapar iklan rokok melalui TV (83%), banner (73,80%), billboard (67,10%), poster (64,80%), dan tembok publik (54,10%). Anak dan remaja usia dibawah 18 tahun yang terpapar iklan rokok di TV memiliki peluang 2,24 kali lebih besar untuk menjadi perokok dibandingkan dengan anak dan remaja usia dibawah 18 tahun yang tidak terpapar iklan rokok di TV. Begitu pula dengan anak usia dibawah 18 tahun yang terpapar iklan rokok di radio, billboard, poster, dan internet memiliki peluang sebesar 1,54 kali, 1,55 kali, 1,53 kali, dan 1,59 kali lebih besar untuk menjadi perokok.Kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif mutlak diperlukan guna mencegah bayi-bayi Indonesia menjadi perokok-perokok dini dan melindungi mereka dari ancaman adiksi racun tembakau.
Anak dan remaja adalah target empuk industri rokok yang akan menjadi market jangka panjang mereka. Masyarakat perlu mendapat informasi yang jelas dan benar mengenai bahaya asap rokok. Peringatan Kesehatan Bergambar Dalam Bungkus Rokok perlu diperbesar ukurannya agar lebih efektif lagi menginformasikan tentang bahaya rokok kepada masyarakat luas. Penerapan Larangan Total Iklan Sponsor Promosi rokok harus dilakukan, termasuk didalamnya adalah melalui UU Penyiaran. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok harus dilaksanakan dengan tegas dan tanpa kompromi melalui Peraturan-peraturan Daerah. Peningkatan pajak rokok perlu segera diberlakukan untuk membuat harga rokok menjadi amat mahal, agar sulit dijangkau oleh anak dan remaja juga masyarakat miskin. “Tanpa kemauan yang tinggi untuk membuat kebijakan pengendalian tebakau yang kuat dan komprehensif dan implementasi yang ketat, baby smoker akan terus bermunculan, semakin dini usianya dan semakin banyak jumlahnya. Indonesia akan semakin dipermalukan!” Pungkas dr. Sumarjati Arjoso, SKM. (dib)