Oleh: A Adib Hambali .(*
STASIUN Mass Rapid Transit (MRT) Lebak Bulus, Sabtu (13/72019), menjadi saksi bisu rekonsiliasi yang ditandai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan capres Prabowo Subianto.
Silaturahmi tersebut menjadi momentum penting menyatukan kembali elemen masyarakat yang sempat terbelah akibat “residu” pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Pasalnya pasca-Pilplres ini masih menyisakan ‘residu‘ akibat kompetisi publik yang terbelah berdasarkan paham keagamaan.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi unggul telak di provinsi yang didominasi warga minoritas agama, seperti di Bali, NTT, Papua, Sulut. Jokowi juga unggul mutlak di warga NU Jatim dan unggul kalangan “Islam abangan” Jawa Tengah.
Sebaliknya, Jokowi kalah telak di provinsi dengan corak yang berbeda. Pasangan ini semakin kalah dibandingkan Pemilu 2014, di Aceh, Sumbar, Riau, Jawa Barat dan Banten.
Untuk provinsi yang banyak pengikut FPI, HTI dan paham Islam yang mirip dengan dua ormas itu, Jokowi umumnya kalah telak”.(Denny JA, Detakpos, 1 Juli 2019).
Polarisasi berbasis politik identitas ini berpotensi memecah belah masyarakat dan bangsa. Ancaman itu sempat memumculkan letupan-letupan kecil seperti kerusuhan 22 Mei 2019, dan beberapa pernyataan untuk memisahkan diri seperti wacana referendum di Aceh dan Republik Sumatera.
Polarisasi politik ini pun menimbulkan kecemasan berbagai pihak. Respons agar Jokowi dan Prabowo dan para pendukungnya bisa move on, melupakan kubu 01 dan kubu 02, mengubur dalam dalam sebutan nyinyir cebong dan kampret, bersatu menjadi Garuda Indonesia.
Rekonsiliasi antara para pimpinan elite politik pasca-pilpres dengan pertemuan Jokowi-Prabowo ini, setidaknya telah menurunkan suhu politik, bukan untuk sekadar sharing jabatan.
Rekonsiliasi harus menyelesaikan dampak pilpres berupa polarisasi di tengah masyarakat. Ormas Islam juga dibutuhkan rekonsiliasi sosial di mana semua pihak bisa bersatu kembali, karena Indonesia itu lebih penting.
Meminjam sosiolog UI, Thamrin Amagola, harus ada rekonsiliasi yang substantif tidak hanya sebatas pembagian posisi di kabinet.
Dalam konteks ini Jokowi menyampaikan harapan agar para pendukungnya juga melakukan hal yang sama, karena kita adalah saudara se- Tanah Air.
Tidak ada lagi yang 01, dan 02, atau panggilan nyinyir yang namanya cebong, kampret. Yang ada adalah Garuda Pancasila.
Rekonsiliasi dalam bingkai persatuan adalah cara merawat dan merajut persatuan dengan melibatkan tidak hanya elite politik nasional, tapi juga politisi lokal, agamawan dan seluruh masyarakat yang mencintai Indonesia damai.
Rekonsiliasi sebagai metode kembali merajut persatuan bangsa perlu dimaknai sebagai “rekonsiliasi substantif” yang melibatkan seluruh komponen bangsa secara sukarela tanpa paksaan melalui dialog.
Komitmen menjaga persatuan bangsa adalah amanat konstitusional dan amanat sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”.
Ancaman bagi persatuan bangsa berarti ancaman pada Pancasila dan konstitusi negara. Persatuan nasional.
Persatuan adalah rumah yang selalu terbuka untuk bekerja sama memajukan bangsa. Persatuan nasional adalah modal dasar untuk masa depan Indonesia agar bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Tidak ada negara yang maju dan sejahtera jika rakyatnya terpecah belah.
Untuk merajut persatuan bangsa maka Jokowi selalu siap mengawalnya dengan cara-cara dialog, persuasif dan partisipasi semua komponen bangsa.
Presiden terpilih Joko Widodo mempersilakan untuk menjadi oposisi karena langkah itu sangat mulia, tapi jangan oposisi yang memimbulkan dendam, kebencian disertai hinaan dan makian.
Dalam demokrasi, mendukung mati-matian seorang kandidat itu boleh. Mendukung dengan militansi yang tinggi itu juga diperbolehkan. Menjadi oposisi itu juga sangat mulia.
“Silakan. Asal jangan disertai oposisi dendam, kebencian, hinaan, cacian, dan makian,”ungkap Jokowi saat menyapaikan Visi Misi Presiden terpilih di Istana Bogor, Minggu (14/7), setelah pertemuan dengan Prabowo.
Kita memiliki norma-norma agama, etika, tata krama, dan budaya yang luhur. Pancasila adalah rumah bersama kita sebagai saudara sebangsa. Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila.
Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak mau ber-Bhinneka Tunggal Ika! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak toleran terhadap perbedaan! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak menghargai penganut agama lain, warga suku lain, dan etnis lain
Sekali lagi, tegasnya, ideologi kita adalah Pancasila. Kita ingin bersama dalam Bhinneka Tunggal Ika, dalam keberagaman. Rukun itu indah. Bersaudara itu indah. Bersatu itu indah.
“Saya yakin, semua kita berkomitmen meletakkan demokrasi yang berkeadaban, menjunjung tinggi kepribadian Indonesia, menunjung tinggi martabat Indonesia, dan akan membawa Indonesia menjadi Indonesia maju, adil dan makmur,”tutur dia
Itulah pesan gamblang menunjukan kepada seluruh elemen masyarakat, dan itu menandakan kalau visinya untuk bekerja dan berani bertindak tegas.
*)Redaktur senior Detakpos