Oleh : A Adib Hambali *
UNGKAPAN guyon parikeno “Orang miskin jangan sakit,” sudah sejak lama akrab di telinga kita. Hal itu kemungkinan ada benarnya karena mahalnya biaya berobat dan rumah sakit yang tidak terjangkau oleh orang miskin.
Tentu saja itu juga berlaku untuk sebagian wong Jonegoro. Pasalnya angka Kematian Ibu (AKI) di Bojonegoro pada tahun 2020 tertinggi di Jawa Timur, mencapai sebanyak 61 orang. Kemudian Kota Surabaya (28), Kabupaten Tuban (25), Kabupaten Mojokerto (24), Kabupateb Pasuruan (23), Kabupaten Bondowoso (22), Kabupaten Probolinggo (20), Kab. Madiun (19), Kabupaten . Tulungagung (19) dan Kab. Pamekasan (19).(Detakpos.com, 4 Februari 2021).
Berdasarkan data LKB Kab/Kota 2020, juga terdapat 10 kabupaten/kota dengan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi, yaitu Kabupaten Jember sebanyak 324, Kota Surabaya (208), Kab. Bondowoso (168), Kab. Kediri (162), Kab. Lumajang (154), Kab. Probolinggo (147), Kab. Tulungagung (146), Kab. Situbondo (140), Kab. Bojonegoro (138) dan Kab. Jombang (137).(detakposn/ 4 Februari 2021).
Dari Profil Kesehatan Jawa Timur, 2019, AKI di Kabupaten Bojonegoro masih sangat tinggi. Tahun 2019 mencapai 149.66 Per 1.000 Kelahiran Hidup, menempati peringkat tertinggi No. 2 di Provinsi Jawa Timur
Catatan Poverty Resource Center Initiave (PRCI), tingginya kasus kematian ibu di Bojonegoro di antaranya disebabkan kurangnya pemeriksaan selama kehamilan, adanya penyakit penyerta pada ibu hamil, seperti hipertensi, diabetes, dan bisa jadi juga karena adanya keterlambatan rujukan.
Pada tahun 2019 dilaporkan ada 26 kasus kematian ibu di Bojonegoro atau sekitar 149.66 Per 1000 kelahiran hidup’ Tingginya angka kematian ibu dan bayi ini sangat berkaitan dengan jumlah penduduk miskin di Bojonegoro ‘
Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di daerah industri migas inipada tahun 2019 sebanyak 170,80 ribu, tahun 2020 meningkat 187,13 ribu dan 2022 terus naik menjadi 192,58 ribu.
Artinya, kemiskinan ini memiliki korelasi dengan angka kematian ibu dan bayi. Karena miskin ibu hamil tidak mampu memeriksakan kehamilan, tidak mampu membeli obat dan tidak mampu memakan makanan bergizi.
Tidak berlebihan jika Ketua Tim Penggerak PKK Arumi Bachsin Emil Dardak mengatakan, Bojonegoro merupakan satu dari empat kabupaten dengan angka stunting dan kematian ibu-anak yang masih tinggi.(detakpos.com,15 Maret 2922).
Ironis, jika hal itu terjadi ketika Pemerintah Kabupaten Bojonegoro memperoleh dana bagi hasil (DBH) migas pada tahun ini sekitar Rp1,5 triliun. APBD Bojonegoro tembus Rp 6,7 triliun .Jumlah ini menempatkan daerah ini memiliki APBD terbessr kedua di Jawa Timur.
Anggaran besar ini kalau untuk membangun jalan, gedung seperti gedung DPRD yang megah dan Kantor Pemkab Bojonegoro dirancang seperti gedung Grahadi Pemprov Jatim, itu sangat bisa.
Namun perlu diingat, minyak ini suatu saat akan habis. Mungkin dalam 10 tahun lagi, DBH migas akan mengalami penurunan luar biasa, sampai kemudian habis sama sekali. Pada waktu itu APBD akan turun drastis.
Ketika terjadi penurunan, mungkin sudah tidak mempunyai lagi dana untuk beasiswa anak-anak, tidak ada lagi dana untuk jaminan kesehatan orang miskin.
Kabar baik.
Bupati Anna Mu’awanah bersama DPRD membahas Raperda Dana Abadi Pendidikan Berkelanjutan Daerah.Hasil pengelolaan untuk memperoleh manfaat ekonom, sosial. Sumber dana abadi diambil dari DBH migas, pendapatan investasi, dan sumber lain yang sah sesuai perundang-undangan.
Dana abadi nantinya akan dibentuk secara bertahap selama tiga tahun anggaran yakni tahun 2022, 2023, dan 2024 dengan rencana penempatan dana abadi sebesar Rp 3 trilyun, atau setiap tahun Rp 1 trilyun.
Dalam hal penganggaran dana abadi, penggunaan hasil pengelolaan dana abadi dianggarkan pada belanja yang diperuntukkan beasiswa pendidikan di Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro. Adapun hasil pengembangan dana abadi tahun berjalan digunakan untuk tahun anggaran berikutnya, yakni untuk beasiswa jenjang Pendidikan Tinggi (S1,S2, atau S3), apabila masih tersisa akan digunakan untuk menambah dana abadi.
Tentu perlu diapresiasi rencana pembuatan Raperda Dana Abadi dari DBH Migas meski tidak masuk dalam visi misi Bupati Anna Mu’awanah dan Wakil Bupati Budi Irawanto (Wawan).
Pertanyaannya, bagaimana dengan nasib wong Jonegoro yang masih miskin tidak mampu berobat, ibu hamil yang tidak mampu memeriksakan kehamilan secara rutin karena tidak memiliki uang dan memberantas stunting karena gizi buruk karena tidak terpenuhi oleh APBD setelah DBH migas nanti berkurang atau tidak ada.
Mumpung masih dalam pembahasan Raperda Dana Abadi Pendidikan Berkelanjutan, Dewan dan Pemkab perlu membuka kembali konsep awal pembentukan dana abadi DBH migas yang peruntukannya meliputi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat Bojonegoro.
Perlu mengencangkan ‘ikat pinggang’ dengan mengutamakan asa warga Bojonegoro yang berlumuran minyak dan gas ini bisa sejahtera dengan mengesampingkan dulu proyek proyek mercusuar yang tidak bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat miskin.
Apalagi besaran sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) APBD Bojonegoro tahun 2021 tembus Rp 2,3 triliun. Tingginya silpa itu, sudah terjadi semenjak 2019. Sangat memungkinkan menyimpanan ke dana abadi lebih dari Rp 1 triliun/tahun.
Untuk menghapus kemiskinan total tidak mungkin. Setidaknya, kelak dengan dana abadi bersumber DBH migas yang besar, Kabupaten Bojonegoro tidak berada di peringkat atas dan keluar dari zona 10 besar terbanyak daftar daerah angka kematian ibu, bayi dan setunting. Pasalnya semua itu memiki korelasi dengan kemiskinan di Jawa Timur.(*)
*Redaktur senior Detakpos.com