Kritik para intelektual, evaluasi kaum terpelajar itu penting untuk menjaga demokrasi yang sehat. Tapi mengapa ketika kritik kaum intelektual dan kemarahan kaum terpelajar kepada Jokowi, kepada Gibran, kepada Prabowo semakin intens, elektabilitas Prabowo dan Gibran justru semakin tinggi?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari memulai dulu dengan berita. Ini kabar dari tengah Januari 2024, dan era sebelumnya yang semakin panas
Yang mutakhir adalah berita, lebih tepatnya gosip karena belum terkonfirmasi. Sebagian menteri diisukan akan mundur dari jabatannya. Itu terjadi untuk menunjukkan bahwa banyak menteri pun tak puas pada Jokowi yang dianggap cenderung kepada capres dan cawapres tertentu.
Itulah isu yang kini disebarkan dan ditiup- tiupkan. Namun sejauh ini belum ada satupun menteri yang membenarkannnya.
Sebelumnya luas diberitakan terjadi tuntutan dan aksi pemakzulan, pelengseran Jokowi. Tokoh dibelakang isu ini tak hanya politisi dan jenderal purnawirawan, tapi juga intelektual dari lembaga survei.
Sebelumnya, aneka tokoh, termasuk majalah sebesar TEMPO kuat sekali memberitakan Gibran sebagai anak haram konstitusi. Diisukan betapa telah terjadi orkestrasi terhadap putusan MK untuk menggoalkan Gibran sebagai cawapres, dengan cara mengangkangi konstitusi.
Mereka menyarankan seharusnya Gibran mundur sebagai cawapres.
Sebelumnya lagi, keras juga terdengar bahkan ketua umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, menyatakan pemerintahan sekarang ini menghadirkan kembali Orde Baru. Neo-Orde Baru!
Semakin Intens sekali kritik kepada Jokowi, kepada Gibran dan kepada Prabowo. Tapi yang terjadi, aneka lembaga survei yang kredibel, di bulan Januari 2024, justru mengabarkan. Elektabilitas Prabowo dan Gibran menaik ke angka yang tak pernah setinggi itu.
Banyak lembaga survei menyatakan kemenangan Prabowo dan Gibran semakin telak. LSI Denny JA sendiri menunjukkan angkanya. Aneka lembaga survei lain berujung pada angka yang mirip.
Bahwa di tengah Januari 2024, elektabilitas Prabowo Gibran bahkan diangka 46,6%. Itu artinya hanya butuh 4% lagi untuk mereka menang satu putaran saja (50% + 1). Tak pernah sebelumnya elektabilitas Prabowo-Gibran berkibar sejauh itu!
Jarak elektabilitas Prabowo-Gibran dengan pasangan Ganjar Pranowo dan pasangan Anies Baswedan pun melebar di atas 20%. Demikian Denny JA dalam rilisnya kemarin.
Bagaimana menjelaskan dua fakta seperti anomali ini?Mengapa kemarahan sebagian kalangan terpelajar yang begitu meluas, tapi efeknya tak terasa menurunkan elektabilitas Prabowo-Gibran.
Kemarahan sebagian kalangan terpelajar itu seolah-olah hanya menjadi angin topan di dalam toples.
. Ada lima penjelasan Denny JA:
Pertama, harus dipahami bahwa kalangan terpelajar yang marah ini, jumlah mereka hanya di bawah 10% dari total pemilih Indonesia. Yang kita definisikan sebagai kalangan terpelajar adalah mahasiswa, mereka yang sudah S1, S2, S3. Termasuk juga lulusan D1, D3 dan selanjutnya.
Kemarahan di sebagian kalangan ini pun efeknya berputar di situ- situ saja. Seolah – olah hanya terjadi di dalam toples sebesar 10%.
Kedua, harus jugada pahami kepuasan publik kepada Jokowi, approval rating Jokowi, sejak bulan Juni 2023 hingga Januari 2024 tinggi sekali. Angkanya sekitar 75% hingga 82 persen.
Kemarahan sebagian intelektual itu dengan sendirinya tidak bersambung dengan public mood masyarakat banyak yang justru suka dan puas kepada Jokowi.
Sebab ketiga, dan ini juga penting. Mayoritas rakyat Indonesia, sebagian besar pemilih Indonesia, menganggap masalah ekonomi di sini, soal politik, perkara hukum dan budaya, semua itu baik-baik saja.
Lebih dari 60% mereka menganggap situasi sekarang ini sedang-sedang saja dan bahkan lebih baik. Yang menyatakan sekarang ini buruk dan jauh lebih buruk itu di bawah 30%.
Dengan sendirinya, stabilitas nasional di berbagai dimensi kehidupan terjaga. Tak terasa hadir kegelisahan yang berdenyut meluas hingga ke kalangan rakyat bawah.
Keempat, umumnya kalangan terpelajar dalam struktur voters di Indonesia tidak memiliki kaki dan tangan untuk mempengaruhi wong cilik, pemilik suara mayoritas negeri ini.
Terputus itu hubungan antara lapisan terpelajar dengan wong cilik. Bahkan para begawan pemikir dan intelektual kita tak memiliki kaki dan tangan ke kalangan wong cilik. Manuver mereka terbatas “di dalam toples saja.”
Kelima, apa yang membedakan situasi sekarang dengan kondisi di tahun 1998, yang berhasil menggerakkan reformasi? Di tahun 1998, kemarahan kalangan terpelajar itu bergaung seirama dengan krisis ekonomi yang besar. Akibatnya kegelisahan kaum terpelajar juga menjadi kegelisahan wong cilik.
Sementara sekarang di tahun 2024 ini, ekonomi baik-baik saja. Tak ada kegelisan ekonomi misalnya yang berdenyut keras.
Itulah sebabnya mengapa terjadi dua fakta yang unik itu. Kemarahan sebagian kaum terpelajar kepada Jokowi, Gibran dan Prabowo memang semakin Intens. Tapi di momen yang sama, elektabilitas Prabowo dan Gibran justru semakin tinggi.
“Terjadi semacam ketidak-sambungan, link yang terputus antara sebagian kalangan terpelajar itu dengan psikologi publik luas., ” Pungkas Denny dalam laporannya.(ahmad adib)