Karangasem – Detakpos – Siang hari di dalam sebuah banjar yang terasa gerah, Manik dengan tekun menganyam dengan bahan-bahan alami alami untuk menyelesaikan sebuah kotak tisu yang disebut ate dan di.
Dalam menyelesaikan pekerjaannya itu, ia yang juga seorang ibu di antara para pengungsi erupsi Gunung Agung bisa menyelesaikan dalam waktu berkisar 3 – 4 hari.
“Bahan sekarang mahal, mungkin mereka tahu kita sedang mengungsi dan tidak ada pekerjaan. Banyak tidur juga bosan,” kata dia asal Desa Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali,di lokasi pengungsian.
Itulah aktivitas yang dilakukan Manik juga beberapa ibu lain untuk mengisi kejenuhan berada di banjar yang juga sekaligus pos penampungan.
Kotak tisu yang dihasilkan dihargai Rp70.000 hingga Rp75.000 dan biasanya dijual kepada pengepul di sekitar wilayah itu. Meskipun sekarang ini kondisi ekonomi setempat sedang melemah, harga kotak tidak mengalami penurunan harga.
Hanya saja harga bahan baku alami mengalami kenaikan harga ate bahan kotak tisu naik menjadi Rp40.000 yang sebelumnya hanya Rp25.000.
Di samping membuat kotak tisu, Manik dan beberapa ibu lain membuat bentuk kerajinan lain, tokasi. Mereka memiliki keterampilan menganyam secara turun temurun.
Sebelumnya manik belajar secara otodidak dari ibu yang ada di desanya. Ketika ditanya apakah Manik tertarik dengan bentuk kerajinan lain yang memiliki nilai jual lebih, dia ingin mencoba.
Namun belum ada sebuah organisasi yang menawarkan hal tersebut kepada dia dan ibu-ibu yang ada di pos penampungan tersebut. Pada saat ditemui di dalam banjar, suaminya yang memiliki keterampilan membuat pahatan kayu bekerja di luar.
Manik dan keluarga telah mengungsi termasuk ibunya, namun dia meninggalkan hewan ternak sapi dan ayam di rumahnya. Meskipun sudah mengetahu dinas peternakan memberikan pakan untuk hewan ternak di penampungan, dia enggan untuk menurunkan ternak ke penampungan hewan.
“Semoga ternak saya baik-baik saja. Akan saya ambil kalau Gunung Agung meletus,” ujarnya.
Lain lagi dengan pengungsi yang bernama Kedep. Ketika ditemui di antara ibu-ibu yang sedang menganyam, Kedep bercerita dirinya sebagai penyintas setelah Gunung Agung meletus pada 1963. Manik mengetahui kisah Kedep saat evakuasi dulu.
“Ibu ini dulu mengungsi karena tanaman mati karena abu. Mereka berjalan dengan sapi hingga Kecamatan Manggis.”
Kedep berjalan kaki puluhan kilometer bersama dengan warga yang lain untuk bertahan hidup. Tidak ada petugas yang membantu evakuasi saat itu,” kata dia menjelaskan.
Ia juga membawa sapi yang sedang bunting. Anak sapi pun lahir di pengungsian. Kedep memutuskan kembali setelah 6 bulan berada di Manggis. Namun sial, anak sapi yang turut dibawa pulang ke kampung mengalami sakit karena memakan tanaman yang tercemar abu vulkanik.
Manik dan Kedep sama-sama berasal dari Desa Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali, yang berjarak sekitar 7,5 km dari puncak Gunung Agung.
Mereka untuk sementara tinggal di sebuah banjar yang bersampingan dengan Kantor Desa Pertima dan hanya berdinding terpal. Meskipun malam hari, Manik tidak merasakan dingin karena beberapa keluarga berkumpul dalam banjar itu.
Gunung Agung yang berlokasi di Kabupaten Karangasem, Bali masih berstatus level IV (Awas) level tertinggi yang menunjukkan aktivitas vulkanik gunung api.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menetapkan status tersebut pada Senin, 27 November 2017, pada pukul 6 pagi waktu setempat. Masyarakat yang berada di kawasan berbahaya akhirnya dievakuasi keluar dari radius berbahaya tersebut. (*)