Tradisi di Makam Buyut Hajat, Karangrejo Gresik Untuk Menumbuhkan Nilai Peduli dan Kebersamaan

Penulis :
1. Dina Islamiyah ( Mahasiswa S2 Pendidikan Dasar FIP Unesa
2. Prof. Dr. Suryati, M.Pd
3. Dr. Ganes Gunansyah, S.Pd., M.Pd

Indonesia sangat kaya akan tradisi dan budaya. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki tradisi tertentu sebagai kearifan local di daerah tersebut. Kearifan lokal terbentuk dari praktik tradisional dan nilai-nilai yang sudah dilakukan dari generasi ke generasi di Masyarakat (Wahyu, 2021) . Tradisi yang turun-menurun ini juga dilakukan oleh Masyarakat desa Karangrejo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa timur.

Masyarakat desa Karangrejo memiliki tradisi untuk melakukan syukuran di makam keramat, Buyut Hajat. Makam Buyut Hajat ini sudah berada lama dari berbagai generasi, meskipun belum tahu pasti sejak kapan makam ini berada disitu.

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Karangrejo adalah melakukan ziarah apabila ke makan apabila mempunyai hajat tertentu. Masyarakar menyakini bahwa itu sebagai bentuk berdoa kepada Allah di tempat yang suci. Salah satu warga desa, Maderi (53) mengungkapkan bahwa “(Ziarah) itu tradisi yang kita lakukan kalau punya hajat besar, berdoa ke Allah SWT di tempat yang suci akan lebih didengar oleh tuhan”.

Tradisi ini tidak hanya berhenti Ketika punya hajat. Setelah hajat terpenuhi, orang tersebut akan mengadakan syukuran dengan makan tumpeng bersama warga sekitar. “Syukuran itu bentuk rasa Syukur kita kepada Allah, syukurannya bikin tumpeng yang bisa dimakan siapapun yang mau atau ada disana” ujar Fatimah (72). “(kamu) harus tahu kebanyakan yang ikut makan disana itu bapak-bapak yang belum bekerja, ada juga anak-anak makan. Itu sedekah kasih makan orang yang butuh” tambah beliau.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah Bujut Hajat. Kami mendengarkan penjelasan dari H.Ach Syafi’i SH.MM, selaku tokoh agama dan sebagai mantan kepala desa Karangrejo periode 1990-2007. Pak Syafii membentuk tim khusus untuk mencari asal usul dari tokoh Mbah Buyut Hajat. “Kami mendatangi ulama di Surabaya dan beberapa daerah, lalu menemukan bahwa Mbah Buyut Hajat memiliki nama asli Syeh Maulana Jailani” Ujar Pak Syafi’i. Beliau juga menyampaikan bahwa “Syeh Maulana adalah ulama besar yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Tahun 1001 masuk ke Karangrejo untuk menyebarkan islam di desa tersebut.”

Masyarakat menganggap jasa besar ini sangat penting sehingga masyarakat menjadikan makam beliau sebagai tempat suci untuk berziarah, berdoa dan melaksanakan syukuran (makan bersama). Pemikiran yang seperti ini juga membentuk kepercayaan masyarakat terkait tradisi yang terbentuk. Tradisi setiap masyarakat mempunyai hajat tertentu dan sudah terkabul, maka selalu melakukan ada untuk melaksanakan syukuran di area makam tersebut.

Era terus berkembang, generasi baru di era ini juga telah ada, namun tradisi ini tetap terlaksana. Munculnya pemikiran baru: apakah melalukan tradisi ziarah dan syukuran di Makam Buyut Hajat akan melancarkan hajat kita? Ternyata pemikiran modern ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, tidak akan mampu mengikis tradisi ini. Bahkan generasi sekarangpun masih banyak yang melakukannya.

“Tradisi dan agama hidup berdampingan. Kepercayan pada tradisi nenek moyang akan menjadi praktik yang tetap dilaksanakan dan berdampingan dengan agama masyarakat setempat (Hasbullah et al., 2022). Tradisi yang sejalan dengan nilai agama justru akan sangat melekat untuk dilakukan di masyarakat tersebut.

Paparan lain disampaikan seorang psikolog, Ratna Kusuma Dewi, M.Psi., Psikolog. Ratna mengatakan bahwa “Nilai (value) berperan penting dalam membentuk kepercayaan seseorang bahkan masyarakat. Secara pemikiran (kognitif) manusia memang berkembang namun nilai memiliki peranan lebih besar dalam membentuk kepercayaan seseorang”. Nilai dari tradisi ziarah dan syukuran di Makam Buyut Hajat ini adalah berdoa dan kebersamaan. Masyarakat tidak hanya terpaku pada pembuktian apakah hal ini dapat melancarkan hajat, namun lebih percaya pada berdoa, bentuk rasa syukur dan berbagi.

Berdoa sebagai bentuk individu dan masyarakat yang beragama (islam). Tradisi menyediakan makanan (nasi tumpeng) sebagai rasa syukur atas segala kelancaran yang telah diberikan dalam hidup. Masyarakat percaya bahwa makanan yang disediakan akan bermanfaan dan membantu orang sekitar yang membutuhkan. Siapapun yang ingin makan disitu diperbolehkan karena memang tujuannya untuk berbagi.

Konsep berbagi ini tentunya bisa dikaitkan dengan salah satu poin dari SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu tanpa kelaparan. Tanpa kelaparan yang dimaksud adalah warga yang melakukan syukuran tersebut di makam Buyut Hajat menyediakan makanan yang bisa dinikmati oleh siapapun dan memang warga biasanya yang membutuhkan akan menghampiri dan ikut makan bersama. Masyarakat, tokoh agama dan masyarkat di tempat juga berusaha tetap melestraikan tradisi ini untuk dapat mengenang jasa Syeh Maulana Jailani dan menumbuhkan rasa peduli pada warga yang membutuhkan.

Daftar Pustaka:
Hasbullah, H., Jamrah, S. A., Syafitri, R., & Zulkifli, N. A. (2022). Dialectic of Religion and Tradition: Investigating Remote Indigenous Communities Belief in Riau, Indonesia. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya, 6(1), 59–70. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v6i1.17571
Wahyu. (2021). Local Wisdom in Banjar Cultural Perspective.(D/5)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *