Jakarta– Detakpos– Kontroversi wacana penyederhanaan kurikulum melalui peleburan mata pelajaran pendidikan agama dengan PPKN dan budi pekerti mencuat di publik.
Dokumen materi Focuse Group Discussion juga beredar di media sosial dan menjadi perbicangan hangat di masyarakat.
Terkait wacana ini Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyampaikan, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, meniscayakan bahwa seluruh proses berbangsa dan bernegara termasuk layanan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari sila pertama.
Apalagi menurut Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
“Mata pelajaran pendidikan agama upaya untuk penguatan pemahaman, sikap dan perilaku keagamaan peserta didik di satuan pendidikan, merupakan penerapan dari sila pertama”kata Susanto.
Menurut Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
“Mencermati dari tujuan pendidikan nasional dimaksud, bawa salah satu tujuan pendidikan nasional agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia,”tutur Susanto, Jumat,(19/6).
Di lain pihak, Pasal 36 ayat (3) secara tegas menyatakan, kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.
Juga keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agama, dinamika perkembangan global; dan
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
“Struktur kurikulum harus menyesuaikan dan tidak keluar dari nafas dan mandat sistem pendidikan nasional Indonesia,”tegas Susanto.
Dikatakan, kurikulum nasional memang harus adaptif untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kehidupan global yang semakin kompetitif, namun bukan berarti ganti menteri ganti kurikulum.
“Karena perubahan kurikulum harus berdasarkan kajian yang matang, komprehensif dan cermat dengan tetap memperhatikan akar budaya, kekhasan suatu bangsa dan mengacu pada ideologi negara dan tujuan pendidikan nasional.”
Menurut Susanto, perlu diketahuienggabungan materi pendidikan agama dengan mata pelajaran lain, dapat berpotensi mengurangi muatan materi pendidikan agama.
“Dampak pengurangan muatan materi agama rentan menimbulkan kedangkalan anak dalam memahami ajaran suatu agama dan mendegradasi penguatan karakter unggul pada anak.”
Karena dalam banyak kasus, seseorang (termasuk anak) yang terpapar faham radikalisme dan terorisme, umumnya mereka memiliki pemahamaan ajaran agama yang dangkal, sehingga mereka mudah terindoktrinasi faham yang salah.
“Untuk mencegah anak terpapar faham radikalisme dan terorisme, peningkatan pemahaman dan perilaku keagamaan merupakan upaya strategis yang harus dilakukan,”pungkas Susanto.(d/2).
Editor: A Adib