“Mafia Peradilan”

Oleh : A Adib Hambali

KABUT hitam kembali bergelayut di langit Mahkamah Agung (MA) RI. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar “mafia” yang menggerogoti benteng peradilan terakhir di Tanah Ai ini. Tidak tanggung tanggung, kasus ini melibatkan oknum hakim agung.

KPK mengusut kasus terkait suap pengurusan perkara. Setidaknya, lembaga anti rasuah ini telah menetapkan tersangka penerima suap, yaitu Sudrajad Dimyati (Hakim Agung pada Mahkamah Agung), Elly Tri Pangestu (Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung), Desy Yustria (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung), Muhajir Habibie (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung), Redi (PNS Mahkamah Agung), dan Albasri (PNS Mahkamah Agung).

Dari pihak pemberi suap yang ditetapkan sebagai tersangka antara lain, Yosep Parera (pengacara), Eko Suparno (pengacara), Heryanto Tanaka (swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam ID/Intidana), dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (swasta debitur Koperasi Simpan Pinjam ID/Intidana). KPK juga turut mengamankan uang sebesar SGD 205 ribu atau setara Rp 2,1 miliar.

Kejadian ini sangat memprihatinkan karena menunjukan dan mengkonfirmasi rumor di masyarakat bahwa mafia peradilan di institusi sekelas MA itu benar dan masih ada. Bahkan sampai melibatkan langsung oknum hakim agung.

Kejadian ini menjadi alarm peringatan para penegak hukum, khususnya di Mahkamah Agung, untuk melakukan berbagai pembenahan. Sebagaimana juga tergambar berdasarkan indeks supremasi hukum (rule of law index) yang dirilis World Justice Project tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat 59 dari 128 negara. Salah satu aspek yang diukur adalah penegakan hukum dan proses peradilan, baik perdata maupun pidana.

Merujuk hasil survei yang diterbitkan Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020, angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64 persen.

Ini menunjukan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menyisakan berbagai persoalan. Ditambah kasus ini, jelas semakin mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia.

Pemerintah dan aparat penegak hukum mempunyai pekerjaan rumah yang berat untuk meningkatkan kepercayaan rakyat. “Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan nyata,”tegas Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Sebelum ini, KPK juga pernah mengungkap kasus suap yang melibatkan pegawai hingga pejabat MA. Berikut ini sejumlah kasus suap di lingkungan MA yang dibongkar KPK yang dihimpun dari berbagai sumber.

Pertama kasus suap Staf Diklat MA Djodi Supratman (2013). Penyidik KPK membongkar kasus suap yang melibatkan mantan Staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA), Djodi Supratman, pada 2013.

Djodi terbukti menerima suap dari anak buah advokat Hotma Sitompul, Mario Cornelio Bernardo, sebesar Rp 150 juta untuk mengurus kasasi kasus penipuan yang melibatkan Hutama Wujaya Ongowarsito.

Suap itu diberikan Mario kepada Djodi untuk membantu pengurusan kasasi Hutomo yang ditangani 3 Hakim Agung yakni Andi Abu Ayub Saleh, Gayus Lumbuun, dan Zaharuddin Utama, dengan panitera pengganti M Ikhsan Fathoni.

Djodi dituntut 3 tahun penjara dalam kasus dugaan penerimaan suap dari pengacara Mario Cornelio Bernardo.Akan tetapi, tidak ada satupun hakim agung yang menjadi tersangka dalam kasus itu dan tidak terbukti menerima suap.

Dalam kasus itu, hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan bagi Djodi.
Sedangkan Mario divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.

Kemudian kasus suap eks Sekretaris MA Nurhadi (2020). KPK menangkap Nurhadi yang merupakan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) dan menantunya, Riezky Herbiyono di Simprug, Jakarta Selatan pada Senin (1/6) malam setelah buron sejak hampir empat bulan lalu.
KPK membongkar kasus gratifikasi yang dilakukan eks Sekretaris MA Nurhadi bersama menantunya, Rezky Herbiyono, pada 2020.

Proses penyidikan dalam kasus itu cukup menegangkan karena Nurhadi dan Rezky sempat bersembunyi setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2020.

Keduanya berhasil ditangkap di sebuah rumah persembunyian di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, pada Juni 2020.

Setelah diadili, Nurhadi dan Rezky terbukti menerima suap dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait kepengurusan dua perkara hukum yang membelitnya.

Selain itu, keduanya juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.

Alhasil Nurhadi dan Rezky saat ini tengah menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat masing-masing selama 6 tahun dikurangi masa tahanan.

KPK menangkap Riesky dan mertuanya, Nurhadi yang merupakan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) di Simprug, Jakarta Selatan pada Senin (1/6) malam setelah buron sejak hampir empat bulan lalu.
Keduanya juga harus membayar pidana denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Hiendra juga dijebloskan ke LP Sukamiskin dalam kasus yang sama setelah divonis penjara 4 tahun dan 6 bulan. Dia juga diwajibkan membayar pidana denda Rp 100 juta subside 4 bulan kurungan.

Terkini kasus suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati (2022)
KPK menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara di MA.Dalam kasus ini KPK menetapkan 10 orang tersangka setelah menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah.(*).

*: Redaktur senior detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *