OpiniĀ Oleh: Suyoto *)
TIDAK menghitung berapa kali saya masuk sekolah, mulai TK, SD, SLTP dan SLTA. Ada satu pertanyaan favorit yang selalu saya tanyakan: apa cita citamu nak? Pada umumnya anak anak menjawab: mau jadi dokter, tentara, polisi, PNS, guru, dosen, Bupati dan bahkan Presiden.
Bertahun tahun pertanyaan itu saya ajukan dan yang saya tahu, para guru umumnya juga menanyakan hal yang sama. Mayoritas jawaban anak anak sama. Sikap kita terhadap jawaban anak anak umumnya juga membenarkan. Bahkan ikut menyemangati dengan kalimat: bercita citalah setinggi langit.
Belakangan saya menyadari ada yang salah dengan pertanyaan ini, dan jika terus berlanjut, lalu membentuk keyaninan pada anak anak. Kita semua harus bersiap siap menjadi orang tua, guru dan pemimpin anak anak dan murid yang gagal kelak.
Kita telah mengingkari kenyataan jumlah kesempatan kerja di sektor formal seperti itu saat ini tidak lebih dari dua setengah persen dari kesempatan kerja. Kita bisa bayangkan setelah anak anak lulus SLTA atau kuliah lalu tidak mendapatkan seperti yang dibayangkan saat kecil, mereka akan kecewa dan bahkan bisa frustasi.
Kini kita harus membiasakan dengan pertanyaan yang lebih tepat, misalnya: di mana kalian besok akan hidup, dengan cara apa kalian akan hidup, dengan siapa kalian akan hidup dan Kalian mau jadi orang kaya atau miskin?
Pertanyaan ini lebih terbuka dalam membayangkan formasi pekerjaan di masa depan, lebih terbuka terhadap semua kemungkinan minat dan potensi anak anak. Tapi juga merangsang anak untuk berpikir apa kira kira karya yang akan dilahirkan dan laku. Karya yang laku ini perlu dicacat, sebab anak anak umumnya ingin hidup layak dan mandiri. Bahkan anak anak sudah mulai dirangsang untuk bersiap siap dalam kolobarasi atau kerja sama dengan pihak lain.
Harus kita akui pertanyaan dan cita cita formal adalah produk sejarah. Sejarah birokratisasi dan revolusi industri ke dua yang berfokus pada sektor pertanian. Bikrokratisasi memerlukan sejumlah pegawai Pemerintah dan karyawan untuk mengisi pabrik pabrik yang menopang sektor pertanian. Sekolah dan Perguruan Tinggai dibuat guna melahirkan lulusan yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Kini zaman sudah jauh berkembang revolusi industri ketiga yang dipicu oleh komputer dan internet dengan cepat melahirkan revolusi industri keempat. Internet of and for everything, big data, robotik, nano teknologi dan teknologi digital printing tiga dimensi dengan cepat mengubah gaya hidup, cara bekerja dan pola hubungan sosial.
Jumlah penduduk yang terus tumbuh sementara sumberdaya lahan malah berkurang menjadi tantangan yang tidak bisa diselesaikan dengan sentralisasi. Untuk inilah demokratisasi dan otonomi daerah hadir. Agar para politisi dan publik dapat fokus pada problem dan cepat menyelesaikan masala bersama.
Semua kemungkinan gagasan, inovasi dan praktek solutif dapat dengan cepat tercipta lewat revolusi komunikasi sosial. Kini semua orang bisa menjadi produsen agen dan konsumen informasi.
Dialektika ini memungkinkan lahirnya berbagai terobosan bisnis, di sektir kuangan lahirlah fintek, di sektor pariwisata lahirlah agen travel online, dalam bidang perdagangan omset toko online bahkan mengalahkan hypermat. Sementara di bidang transportasi, skena sharing untuk taksi dan ojek dengan cepat mendisrupsi perusahan taksi yang sudah lama mapan.
Satu lagi sungguh menarik, dari sisi pelaku bisnis. Jika dulu pebisnis harus punya basis keluarga atau koneksi kuat dengan kekuasaan dan modal. Kini kita dapat menyaksikan anak anak muda yang bukan siapa siapa dapat melahirkan bisnis yang beromzet trilyunan. Bisnis tidak lagi milik orang kota besar, bahkan di sebuah kota kecil dapat menjadi pusat perdangan online.
Maka, mari kita melupakan pertanyaan soal cita cita formal kepada anak anak. Dunia sudah berubah, banyak pekerjaan yang usang, hilang, tapi juga tak terhingga jenis pekerjaan baru yang muncul. Beruntungnya anak anak kita kini bukan produk sejarah seperti kita.
Bagi kita mungkin keterikatan dengan rumah dan benda masih kuat. Karena itulah memiliki rumah dan kendaraan masih menjadi obsesi dan prestise. Begitu juga memakai sepatu pantofel dan seragam kerja masih menarik buat kita.
Tapi anak anak yang lahir tahun 2000, setelah reformasi, dan rata rata orang tuanya terdidik, tidak pernah kekurangan pangan. Sejak kecil sudah main game, sangat familiar dengan internet. Sikap, cara pandang dan perilakunya sungguh berbeda dengan generasi sebelumnya.
Mereka sangat percaya dengan komunikasi virtual sementara diantara senior atau orang tuanya masih nyaman dengan tatap muka atau kertas yang dapat dilihat dan diraba.
Anak anak harus dilatih melihat masa depan, mampu berniat positif, dapat melihat peluang, mulai merancang karyanya, melihat kehidupan dalam spektrum yang luas, siap berkolaborasi dengan siapapun, hidup sehat, dan mempu mengelola diri untuk hidup bahagia. Tapi ini semua hanya dimungkinan, jika kita tidak terjebak pada pertanyaan cita cita formal, pola pendidikan yang dogmatis, tidak hidup dan menghidupkan, tidak mendorong semangat reflektif, kritis dan inovatif.
Bagaimana dunia pendidikan menyiapkan ini semua? Semua unsur pendidikan suka tidak suka harus memahami perkembangan sejarah kehidupan, revolusi industri 4.0, terlibat aktif kolaborasi dengan dunia industri. Semua jenjang pendikan perlu bersinergi untuk terus dapat meningkatkan kurikulum dan pengayaan didaktik metodiknya. Satu hal lagi mari jadikan anak anak millenal 2000, generasi millenial yang lahir tahun 2000an, sebagai kawan aktif belajar. Bahkan juga kawan dalam merancang kurikulum yang relevan. Kami di Universitas Muhammadiyah Gresik sedang mendisrupsi diri dan memastikan peta jalan transformasi pendidikan yang berorientasi industri 2.0 dan 3.0 ke industri 4.0 demi membantu anak anak millenial generasi 2000 lebih siap menghadapi hidup.
Bagi kami inilah panggilan sejarah, panggilan Keindonesiaan dan Keislaman. Siapa mau gabung?
*) Dr. Suyoto. M.SI, Dosen Univesitas Muhammadiyah Gresik, pernah bekerja di Pemerintahan sebagai Bupati tahun 2008 sd 2018.