Tragedi Kanjuruhan

Oleh : A Adib Hambali *

IBARAT buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayahnya yang meninggal. Begitulah gambaran dilema dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Pascalaga pertandingan sepakbola Arema vs Persebaya pada tanggal 1 Oktober 2022.

Sejak awal pihak keamanan mengkhawatirkan akan pertandingan ini dan meminta kepada Liga (LIB) agar dapat diselenggarakan sore hari untuk meminimalisir risiko.

Tetapi sayangnya pihak Liga menolak permintaan tersebut dan tetap menyelenggarakan pertandingan pada malam hari.

Juga jumlah penonton yang terlalu banyak, yang dibiarkan panitia. Kapasitas stadion hanya untuk 38 ribu penonton. Tapi panitia membiarkan stadion itu diisi sebanyak  42 ribu.

Pertandingan pun berjalan lancar hingga selesai. Kemudian kerusuhan terjadi setelah pertandingan di mana terdapat supporter memasuki lapangan dan kemudian ditindak dan aparat menembakkan gas air mata.

Kericuhan dalam tragedi  itu berawal dari kekecewaan suporter tim tuan rumah yang turun ke lapangan tanpa dapat dikendalikan oleh pihak keamanan. Bahkan aparat Kepolisian yang tidak sebanding dengan jumlah penonton, sehingga menembakkan gas air mata yang menimbulkan kepanikan penonton yang jumlahnya ribuan.

Penembakan gas air mata ini menjadi pemantiknya. Sebab berdasarkan aturan FIFA, penembakan gas air mata di stadion itu  dilarang.

FIFA, sudah berpengalaman dengan kerusuhan sepakbola di stadion, sudah mempelajrinya. Di Peru tahun 1964, yang menyebabkan kematian lebih dari 300 orang, sebagian juga disebabkan oleh kepanikan massal akibat gas air mata.

Karena itu, FIFA melarang penggunaan gas air mata dalam mengatasi kerusuhan sepakbola di stadion.

Kepolisian pun membeberkan alasan menembakkan gas air mata ke arah suporter usai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya.
Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengatakan, pertandingan sebenarnya berjalan lancar. Namun ketika laga berakhir, sejumlah pendukung Arema FC merasa kecewa.

Beberapa di antara mereka lantas turun ke lapangan untuk mencari pemain dan ofisial. Pendukung Arema FC itu kemudian melakukan tindakan anarkis dan membahayakan keselamatan.

“Karena gas air mata itu, mereka pergi ke luar ke satu titik, di pintu keluar. Kemudian terjadi penumpukan dan dalam proses penumpukan itu terjadi sesak napas, kekurangan oksigen,” katanya, seperti dikutip kantor berita Antara.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut gas air mata di Stadion Kanjuruhan, dilepaskan karena penonton mengejar pemain sepakbola.

Mahfud menyebut sekitar 2.000 orang turun untuk mengejar para pemain. Sasarannya para pemain dari kedua klub sepak bola yang bertanding, yakni Arema dan Persebaya.

“Ada yang mengejar Arema karena merasa kok kalah. Ada yang kejar Persebaya. Sudah dievakuasi ke tempat aman. Semakin lama semakin banyak, kalau tidak pakai gas air mata aparat kewalahan, akhirnya disemprotkan,” kata Mahfud kepada CNN Indonesia TV, Minggu (2/9/2022).

Akibat insiden ini 125 orang tewas, termasuk dua petugas kepolisian. Dari keseluruhan korban, 34 di antaranya tewas di tempat, sementara sisanya meninggal ketika mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Nico mengatakan bahwa saat ini, sekitar 180 orang masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit di Malang. Selain korban jiwa, tercatat 13 unit kendaraan mengalami kerusakan, 10 di antaranya milik Polri.

Terlalu dini memvonis siapa yang salah dalam tragedi Kanjuruhan ini.
Semua pihak perlu menunggu Menko Polhukam Mahfud MD membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) terkait tragedi Kanjuruhan. Pemerintah meminta kepolisian, TNI, Kemenpora dan PSSI untuk mengusut kasus tersebut.(*)

Redaktur senior detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *