Oleh : A Adib Hambali (*
POLEMIK etnis minoritas Uighur di Xinjiang Republik Rakyat Tiongkok (RRT), kembali mengemuka. Berbaurnya fakta dan propaganda pun beriringan menyertai memanasnya hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan negeri Tirai Bambu tersebut.
Imbasnya, sorotan pun dialamatkan ke Pemerintah Indonesia yang terkesan diam. Termasuk sejumlah ormas Islam yang disebut oleh media barat dirayu oleh pihak RRT untuk tidak mempersoalkan masalah tersebut.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno LP Marsudi pun bertemu dengan Menlu RRT Wang Yi di sela-sela Pertemuan Asia Europe Meeting Foreign Minister Meeting (ASEM FMM) ke-14 di Madrid, (16/12/2018).
Dalam pertemuan itu Menlu RI meminta informasi mengenai perkembangan situasi di Xinjiang. Menlu RRT menegaskan komitmennya bahwa kebebasan beragama umat Muslim di Xinjiang dijamin oleh negara. (kemlu.go.id,17/12/2019).
Setidaknya, pernyataan itu mengkonfirmasi pihak pihak yang masih menyorot ihwal tudingan perlakuan represif dan kebijakan tidak manusiawi yang dialami etnis minoritas Uighur yang banyak negara di dunia mempersoalkan kabar kesewenang-wenangan ini.
Pada Juli 2019, 20 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) termasuk Australia, Inggris, Kanada, Prancis, dan Jerman, yang menjadi sekutu AS, mengirim surat kecamanan kepada para pejabat tinggi Dewan HAM PBB terkait perlakuan otoritas RRT terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lain di wilayah Xinjiang.
Bahkan DPR Amerika Serikat (AS) meloloskan RUU memberikan kewenangan pihak Gedung Putih menjatuhkan sanksi pada RRT terhadap kejadian di Xinjiang.
Sayangnya, RUU yang dikeluarkan DPR AS lahir dari asumsi yang tidak cukup objektif. Ditambah lagi, sebelum mengeluarkan RUU, AS mengundangkan RUU mendukung gerakan protes pro-demokrasi di RRT.
Kuatnya asumsi, keluarnya RUU tentang HAM Uighur lebih besar muatan politik ketimbang muatan kemanusiaan.
Sejak bocor dokumen tudingan penindasan etnis Uighur dan minoritas muslim lain oleh Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi, gelombang protes dan kecaman terhadap dugaan pelanggaran HAM otoritas RRT terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim semakin meluas. Sayang media belum mengkonfirmasi persoalan tersebut, sehingga terkesan apologi.
Adalah media pro barat menulis RRT berupaya membujuk sejumlah organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), media di Indonesia, hingga akademisi agar tidak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur.
Laporan the Wall Street Journal (WSJ) yang ditulis Rabu (11/12/2019), memaparkan RRT mulai menggelontorkan bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam tersebut setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018.
Saat itu, isu Uighur mencuat usai sejumlah organisasi HAM internasional merilis laporan yang menuding RRT menahan satu juta Uighur di kamp penahanan layaknya kamp konsentrasi di Xinjiang.
Beijing pun disebut membiayai puluhan tokoh seperti petinggi NU dan Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), akademisi, dan sejumlah wartawan Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang.
Hal itu, papar WSJ, terlihat dari perbedaan pendapat para tokoh senior NU dan Muhammadiyah soal dugaan persekusi Uighur sebelum dan setelah kunjungan ke Xinjiang.
Dalam laporan WSJ, para pemimpin Muhammadiyah sempat mengeluarkan surat terbuka pada Desember 2018 lalu yang menyuarakan dugaan kekerasan terhadap komunitas Uighur. Muhammadiyah bahkan menuntut penjelasan RRT dan memanggil Duta Besar di Jakarta.
Sejumlah kelompok Islam bahkan berunjuk rasa di depan kedubes China di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap dugaan penahanan itu.
Tak lama dari itu, RRT berupaya meyakinkan ormas-ormas Islam bahwa tak ada kamp konsentrasi dan penahanan.
Beijing berdalih kamp-kamp itu merupakan kamp pelatihan vokasi untuk memberdayakan dan menjauhkan etnis Uighur dari paham ekstremisme.
RRT lalu mengundang puluhan pemuka agama Islam, wartawan, hingga akademisi Indonesia untuk mengunjungi kamp-kamp di Xinjiang.
Sejumlah pejabat RRT juga memberikan presentasi terkait serangan terorisme yang dilakukan oknum etnis Uighur.
Sejak rangkaian tour Xinjiang itu berlangsung, pandangan para pemuka agama Islam berubah, dan media barat menuding karena dipengaruhi dan dirayu oleh pihak RRT.
Seorang tokoh senior Muhammadiyah yang ikut kunjungan ke Xinjiang mengatakan, kamp-kamp yang ia kunjungi sangat bagus dan nyaman, serta jauh dari kesan penjara.
Tulis WSJ, hal itu diutarakan dalam catatan perjalanan yang dirilis di majalah Muhammadiyah.
WSJ juga mengatakan hal serupa soal sikap NU. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, disebut meminta warga terutama umat Muslim Indonesia tidak percaya pada laporan media dan televisi internasional untuk memahami situasi di Xinjiang. WSJ mengatakan pernyataan itu disampaikan Said melalui buku yang diterbitkan NU Cabang RRT.
Mantan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan pengurus NU, Masduki Baidlowi, juga disebut WSJ mengamini pernyataan RRT selama ini bahwa kamp-kamp itu adalah kamp pelatihan vokasi untuk memberdayakan masyarakat Uighur dan menjauhkan mereka dari ekstremisme.
“Ada masalah dengan ekstremisme di Xinjiang dan mereka (RRT) sedang menanganinya. Mereka memberikan solusi: pelatihan vokasi dan skill,” kata Masduki seperti dikutip WSJ.
Selain tour ke Xinjiang, juga disebut menyalurkan sejumlah donasi dan bantuan finansial lain yang dibungkus dengan program beasiswa. Sejumlah siswa ormas-ormas Islam termasuk NU turut menerima beasiswa itu.
Merespons laporan itu, Muhammadiyah membantah bahwa organisasinya bungkam soal Uighur karena sejumlah bantuan dari RRT.
Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah, Abdul Muhti, menegaskan bahwa organisasinya independen dan tidak bisa didikte oleh pihak manapun apalagi asing.
Muhammadiyah tidak akan menyampaikan suatu pandangan karena sumbangan. Apalagi selama ini tidak ada sumbangan untuk Muhammadiyah.(CNNIndonesia.com, Kamis, 12/12/2019).
Pihaknya juga menentag keras segala bentuk pelanggaran HAM oleh siapa pun. Tidak terkecuali oleh China, Arab Saudi, Israel, dan sebagainya. Tetapi Muhammadiyah tidak akan bersikap tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan tidak hendak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Sementara itu, MUI membantah laporan WSJ tersebut. Menurut Kepala Hubungan Internasional MUI, Muhyiddin Junaiddi, tidak semua petinggi agama yang ikut tur ke Xinjiang mendukung sikap RRT terkait kebijakan di wilayah itu.
Kunjungan ke Xinjiang pada Februari lalu dipantau ketat oleh pihak berwenang RRT. Ia juga mengklaim orang-orang Uighur yang ia temui di sana terlihat ketakutan.
Muhyiddin mengatakan upaya RRT mengundang tokoh-tokoh Islam berpengaruh di Indonesia ke Xinjiang didesain untuk “mencuci otak” opini publik. Ia bahkan mengatakan, sejumlah tokoh Muslim Indonesia yang pernah mengkritik RRT soal Uighur berbalik malah membela.
Masduki Baidlowi sendiri membantah laporan tersebut. Sampai saat ini prinsipnya terkait Uighur tidak pernah berubah.
Staf Khusus Wapres itu mengakui etnis Uighur di sana masih memprihatinkan terutama soal hak dasar beribadah. Kalau kehidupan ekonomi cukup. Jadi menurut Masduki, ini persoalan kebebasan beribadah.
Tuduhan itu dilontarkan karena sikap Indonesia berbeda dengan AS atau negara barat yang selalu mengecam tindakan RRT terhadap Uighur. Jangan karena tidak senada dengan Barat seolah dibeli oleh RRT, itu tidak benar.
Masduki menilai tudingan tudingan dan isu Uighur yang terus digulirkan itu bagian dari propaganda AS, bukan fakta.
Terkait belum adanya respons tegas dari pemerintah Indonesia atas isu tersebut, itu dapat dipahami.
Wajar jika belum ada sikap Pemerintah Indonesia karena ada beberapa hal, seperti data tentang pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah RRT terhadap etnis Uighur yang selama ini beredar, tidak bersifat objektif dan spasial.
Apa yang disampaikan pihak media barat, tidak terkonfirmasi. Demikian juga dengan apa yang menjadi pembelaan pemerintah RRT, bersifat apologi.
Pemerintah RRT sendiri belum membuka peluang pihak mana pun untuk melakukan investigasi secara objektif mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di Provinsi Xinjiang.**
*): Penulis Redaktur Senior Derakpos