Padang –Detakpos– Dosen FISIP Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Emereldi Charta, mengakui media sosial saat ini sudah turut serta menjadi alat dalam penyebarluasan paham radikal terorisme. Untuk langkah pencegahan, dia menyarankan agar masyarakat tidak saling hujat di media sosial.
Ini disampaikan Emereldi saat menjadi pemateri di kegiatan Literasi Digital sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat yang diselenggarakan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumatera Barat di Kota Padang, Kamis (13/9/2018). Dia menyebut, saling hujat di media sosial adalah pintu masuk terjadinya radikalisme.
“Dulu isunya permusuhan Sunni – Syiah, lalu NU – Wahabi, dan sekarang isu pemilihan presiden. Perdebatan yang tidak dilakukan secara ilmiah, sepenggal di media sosial, akan mendorong seseorang memendam kebencian dan memelihara permusuhan,” kata Emereldi.
Lebih lanjut Emereldi mengatakan, kebiasaan menghujat di media sosial juga akan mengantarkan orang yang melakukannya ke pintu perekrutan jaringan pelaku terorisme.
“Orang-orang yang gemar menghujat, terutama di media sosial, bukan tidak mungkin dipantau oleh pelaku terorisme. Anda yang suka menghujat dinilai berpotensi untuk terus memupuk permusuhan, akan digiring untuk aksi-aksi terorisme,” pesan Emereldi.
Anggota Dewan Pers RI, Ratna Komala, di kesempatan yang sama mendukung anjuran masyarakat tak lagi saling hujat di media sosial untuk mencegah terus tersebarluaskannya radikalisme dan terorisme. Ditegaskannya, meskipun mengutarakan gagasan di media sosial adalah hak, penyampaiannya harus dibarengi etika.
“Anda menulis status dan komentar di media sosial itu hak, di lindungi dalam konstitusi kita. Tapi tetap harus diingat, penyampaian pendapat tetap harus menggunakan etika,” ungkap Ratna.
Mantan presenter berita RCTI ini juga mengatakan, masyarakat harus dididik bahwa setiap informasi yang ada di media sosial bukan produk pemberitaan yang bisa dengan mudah disebarluaskan dan jadi dasar saling hujat.
“Undang-undangannya saja beda. Pemberitaan adalah produk pers yang diatur oleh UU Nomor 40, sementara media sosial dipayungi oleh UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. Jadi jangan berdebat karena sharing berita di media sosial, karena isinya belum tentu benar dan terverifikasi,” tuntas Ratna. (dib)