Jakarta-Detakpos.com-enolakan masyarakat terhadap relokasi dan/atau pengosongan lahan untuk pembangunan kawasan Rempang Eco City, Pulau Rempang, Batam pada Kamis (7/9), berujung tindakan refresif, kekerasan dan penahanan sejumlah warga yang dilakukan aparat keamanan.
Tragedi Pulau Rempang memperlihatkan watak negara dalam mendorong akselerasi investasi melalui pendekatan keamanan untuk memastikan kelancaran pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Kepentingan rakyat nyata-nyata ditempatkan di bawah kepentingan investasi dan PSN.
Oleh karena itu, Nabhan Aiqoni, _Peneliti Bisnis dan HAM dan Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat gabungan di Rempang dan pendekatan kekerasan yang dilakukan Pemerintah terhadap rakyat.
“Selain itu, dalam konteks pembangunan Rempang Eco City, sebagaimana PSN lain sebelumnya, paradigma Bisnis dan HAM sama sekali diabaikan dengan begitu, ” tulisnya Jumat (15)9/2023)
Pilar kesatu United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) tentang kewajiban negara untuk melindungi masyarakat terdampak _(affected community)_ dari pelanggaran HAM oleh investasi entitas bisnis, justru dinegasikan atas nama investasi dan pembangunan. Pengosongan sebuah wilayah, yang artinya memindahkan masyarakat dari ruang hidup dan penghidupan, dalam paradigma Bisnis dan HAM harus sedapat mungkin dihindari. Jika pun relokasi perlu dilakukan dan tak dapat dihindari, mesti diawali dengan menempuh _meaning consulation_ (konsultasi bermakna) yang diwujudkan dalam pemenuhan FPIC (Free Prior Informed Consent) atau persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal, dan selanjutnya, disusun kerangka rencana pemukiman kembali _(resettlement planing framework)_.
Untuk membangun upaya _effective stakeholders engagement_ dalam rangka menilai dan memahami kekhawatiran komunitas terdampak, Pemerintah dan entitas bisnis mesti berkonsultasi secara langsung dengan masyarakat terdampak dengan mempertimbangkan kondisi lokalitas, aspek historis, dan potensi hambatan lainnya dalam keterlibatan yang efektif, bukan justru dengan menguatkan pendekatan keamanan. Pengerahan aparat justru hanya memunculkan kesan anti kritik, pengabaian kepentingan rakyat, dan menambah daftar panjang pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah untuk membendung suara-suara penolakan atas kebijakan dan proses pembangunan yang minim keterlibatan masyarakat.
Dalam konteks itu, SETARA Institute mendesak:
1) Presiden agar menginstruksikan Kapolri untuk memastikan penghentian gelar pasukan dan segala bentuk tindakan represif aparat dalam proses pembangunan PSN, terutama Rempang Eco City. Sanksi perlu diberikan terhadap pimpinan Polri di daerah dan/atau di lapangan jika tindakan represif masih dilakukan aparat;
2) Pemerintah untuk tidak merespons penolakan dari masyarakat sekitar terhadap pembangunan PSN dengan pengiriman aparat keamanan sebagai upaya paksa untuk kelancaran PSN. Adanya penolakan menandakan proses dialog dan konsultasi bermakna yang belum tuntas, sehingga Pemerintah perlu membuka kembali ruang dialog untuk mencari akar permasalahan dan solusinya;
3) Pemerintah untuk menerapkan jeda kemanusiaan, mengingat semakin meluasnya eskalasi penolakan publik dan tingginya tensi kekerasan di lapangan, dalam bentuk represi aparat dan perlawanan rakyat. Pemerintah selaku pemangku kewajiban _(duty bearer)_ harus memeriksa kembali dan memenuhi kewajiban-kewajiban HAM yang selama ini diabaikan dalam proses pembangunan Rempang Ecocity. Dalam skala lebih luas, termasuk pada pelaksanaan PSN lainnya yang masih problematik di lapangan. []
Editor: AAdib