Opini: Oleh H AAdib Hambali, Redaktur Senior dan Pemerhati Politik di Bojobegoro
KOALISI Gerindra, PAN dak PKS di Pilkada DKI berhasil. Kesuksesan itu akan ditularkan ke sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2018, termasuk di Pilgub Jatim. Caranya dengan melamar Yenny Wahid.
Namun Yenny menyatakan tidak bersedia dicalonkan dengan alasan pertimbangan saran dari keluarga besar Gus Dur.Apalagi saat berlangsung peringatan sewindu wafatnya (haul) Gus Dur di Ciganjur, Jumat (22/12), yang dihadiri Gus Ipul dan Khofifah, Yenny mengajak hadirin untuk berdoa agar siapa pun yang terpilih sebagai Gubernur Jatim dapat memberi kebaikan bagi masyarakat. Yenny mencoba menjelaskan kepada publik bahwa sikap keluarga Gus Dur netral dalam Pilgub Jatim.
Bukan tanpa alasan jika Prabowo ingin merekrut Direktur Wahid Foundation itu menjadi cagub Jatim. Sebab dalam survei lembaga Surabaya Survey Center (SSC) 13 Desember 2017, keinginan masyarakat Jatim terhadap munculnya pasangan cagub-cawagub selain Gus Ipul-Azwar Annas dan Khofifah-Emil Dardak ternyata sangat tinggi.Sebanyak 43,9 persen responden setuju apabila ada cagub-cawagub alternatif dari poros baru.
Hanya 17,7 persen responden yang tak setuju keberadaan poros baru. Sementara, 38,4 persen sisanya memilih tidak menjawab atau menjawab tidak tahu.Tingginya keinginan terhadap hadirnya cagub alternatif, antara lain dipicu oleh faktor kejenuhan terhadap calon-calon yang ada.
Bukan rahasia, Gus Ipul dan Khofifah sudah bertarung dalam dua Pilgub Jatim terakhir, sehingga Pilgub 2018 adalah pertarungan ketiga bagi keduanya. Masih dari survei SSC, nama Yenny Wahid dan Mahfud MD – yang sebelumnya tak pernah dikaitkan dengan poros baru – justru dianggap publik layak menjadi cagub dari poros tersebut.
Mahfud menempati posisi pertama dengan 18,3 persen.Disusul Ketua Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti, yang sebelumnya santer disebut dekat dengan poros baru, menempati posisi kedua dengan 15,4 persen. Yenny berada di posisi ketiga dengan 11,9 persen.
Yenny diyakini berpeluang besar memenangi Pilgub Jatim karena orang percaya ia akan memperoleh dukungan masif dari jaringan Gusdurian dan sebagian besar warga nahdliyin yang menyukai dan taklid pada pemikiran-pemikiran Gus Dur.
Sisi lain Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) justru mencatat mekanisme demokrasi ini telah menghasilkan ekses yang merusak demokrasi yaitu politik uang dan SARA. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan, keduanya adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI.
Jika politik uang merusak legitimasi, politik SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak kenyanyaman kebangsaan yang telah susah payah dirajut oleh para pendiri bangsa.
Bagi PBNU Pergelaran Pilkada DKI 2017 menyisakan ”noktah hitam” bahwa perebutan kekuasaan politik dapat menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan menggerogoti pilar-pilar NKRI. (Detakpos, 3/1/2018).
Pengalaman ini harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri. Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif melalui literasi sosial dan penegakan hukum.Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat tanpa politik uang dan sentimen primordial.
Bercermin dari kasus Pilkada DKI, kontestasi politik dapat mengganggu kohesi sosial akibat penggunaan sentimen SARA, penyebaran hoax, fitnah, dan ujaran kebencian (hate speech).K
Kekhawatiran itu yang kemungkinan mendorong keluarga besar NU dan pendiri NU di Jombang, Jawa Timur, tidak mengizinkan Yenny Wahid, sehingga dia tidak bersedia dicalonkan oleh Gerindra.
Sebab poros itu di DKI tidak bisa mengantisipasi ekses SARA yang mengiringi Pilkada DKI dengan massifnya kelompok-kelompok pendukung dengan aksi-aksi demo berkelanjutan.
Kekhawatiran muncul jika Yenny didorong untuk bertarung dalam Pilgub Jatim, tidakkah hal itu justru akan memecah belah nahdliyin dengan risiko memicu gesekan.
Diitambah kelompok-kelompok masif yang bisa saja bergeser dari DKI setelah meninggalkan ”noktah hitam” mengancam sendi-sendi kesatuan dan persatuan.(*).
*Redaktur senior dan pemerhati politik di Bojonegoro.