Analisis Berita:
Oleh A Adib Hambali(*)
PENDAFTARAN Calon Presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Pilpres 2019, dibuka mulai 4 hingga 10 Agustus 2018. Artinya kurang dua hari lagi dibuka oleh Komisi Pemilihan Umun (KPU).
Capres Joko Widodo yang didukung koalisi partai PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB, belum menentukan cawapres yang digandeng untuk Pilpres 2019.mendatang.
Begitu juga Prabowo Subianto yang didukung Partai Demokrat, Gerindra, PAN dan PKS, juga masih belum mengumumkan ada del siapa cawapres yang akan mendampingi Prabowo.
Sejumlah pakar menilai sikap saling tunggu itu terjadi karena masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 222 UU Pemilu soal ambang batas presiden atau presidential threshold.
Pemilihan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 dikhawatirkan hanya akan menitikberatkan pada kepentingan kelompok kecil penguasa.
Mahkamah Konstitusi pun diminta membatalkan aturan di UU Pemilu itu.Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) .
Titi Anggraini dan Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas terkait uji materi pasal 222 UU pemilu soal ambang batas presiden atau presidential threshold.Bukan lagi kepentingan bangsa, tapi justru kepentingan [elite] partai.
Pasalnya, ambang batas presiden membuat pasangan capres-cawapres harus mendapatkan dukungan dari partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di DPR.
Rekrutmen capres-cawapres pun hanya ditentukan sebagian elite parpol secara tertutup tanpa diketahui kader bahkan rakyatnya.Rekrutmen parpol makin elitis, sentralistis, dan tertutup. Anggota partai diyakini tidak tahu menahu soal manuver para elite. Karena dikendalikan oleh elite yang membuat keputusan.
Busyro menyebut aturan terkait ambang batas presiden itu tidak menggugurkan moralitas demokrasi. Pasal 222 itu ada unsur kapitalisasi pemilu dengan persentase 20 persen yang itu menggugurkan moralitas demokrasi yang menjadi sendi dari negara hukum.
Padahal, negara hukum memiliki dua sendi utama yakni demokrasi dan HAM. Ketika ambang batas diberlakukan, sistem demokrasi pun cacat.
Dengan 20 persen itu demokrasi cacat.Jelas dalam pasal itu tidak ada kedaulatan pemilu, tak ada demokrasi penuh.Oleh karena itu banyak yang berharap agar MK bisa memberikan bisa bersikap bijak dan mengabulkan gugatan uji materi itu.
UU Pemilu kita ini overkill, berlebihan. Memang cenderung membatasi, sangat berlebihan. Ini menjauhkan kita dari amanat reformasi, yang menjelaskan untuk memurnikan kedaulatan rakyat dan supremasi hukum.
Para penggugat merasa bahwa pencalonan presiden sebaiknya tidak memiliki syarat ambang batas kepemilikan suara di DPR. Sebab, syarat itu tidak diatur dalam UUD 1945. UU Pemilu pun dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Selain itu Partai Perindo mengajukan uji materi Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK. Pasal tersebut mengatur bahwa capres-cawapres bukanlah yang pernah menjadi presiden atau wapres sebanyak dua kali masa jabatan.
Gugatan tersebut diajukan Partai Perindo selaku peserta pemilu, karena merasa dirugikan oleh pasal tersebut. Apalagi, partai besutan Hary Tanoesoedibjo itu ingin mengusung Jusuf Kalla menjadi cawapres pendamping Joko Widodo dalam Pemilu 2019.
Dengan demikan palu yang akan diketukkan MK yang ditunggu-tunggu. Apakah akan bermunculan calon calon lain, atau hanya pasangan Jokowi dan Prabowo. Yang pasti keduanya akan langsung mengumumkan calon wapresnya.(*)
Penulis: Redaktur Senior Detakpos