Jakarta, detakpos – Rais Syuriah PBNU K Ahmad Ishomuddin siap mempertaruhkan jabatan wakil ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, demi menegakkan keadilan.
Dia pun mengaku difitnah dan teror.
“Sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus Pak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok),” ungkap Ishomuddin dalam tabayyun yang diterima di Jakarta, Jumat (24/3).
Hal itu diungkapkan menanggapi informasi soal pemberhentian dirinya dari jabatannya di MUI Pusat, yang disampaikan mantan ajudan Soeharto dan wakil Ketua Komisi Hukum MUI, Anton Tabah Digdoyo.
Dosen IAIN Lampung ini menjelaskan, dia diminta oleh penasehat hukum Ahok untuk menjadi saksi ahli atas kasus dugaan penodaan agama.
Penasehat hukum, menurut dia, dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi ini, sebagaimana dewan hakim dan para JPU (Jaksa Penuntut Umum).
“Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15,” papar Ishomuddin.
Dia menyadari dan sudah siap mental menghadapi risiko apa pun, termasuk mempertaruhkan jabatan yang sejak dulu tidak pernah diminta, yakni sebagai Rais Syuriah PBNU (periode 2010-2015 dan 2015-2020), maupun Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu,” tegas Ishomuddin.
Sebagian umat meyakini Ahok pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan Qs. al-Maidah ayat 51.
Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut perlu diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum ini tidak memutuskan hukum sendiri-sendiri.
“Saya hadir karena ingin turut serta menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat,” jelas dia.
Dia hadir bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi.
“Saya bersedia menjadi saksi ahli pada saat banyak orang yang diminta pihak Ahok berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan. Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang tidak bersalah atau membebaskan orang yang salah,” tutur dia.
Dia juga berharap seluruh rakyat tenang, tidak terus menerus gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan.
“Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi main hakim sendiri di negara hukum,” terang dia.
Di persidangan dis tidak mengaku sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh.Namun bukan berarti dia buta dan tidak mengerti sama sekali kitab-kitab tafsir.
“Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari buku-buku terjemahan,” ujar dia.
Baginya berbeda pendapat adalah biasa dan wajar karenanya dia tetap menaruh hormat kepada siapa saja yang berbeda darinya, terutama kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kiai sepuh.
Dalam persidangan ke-15 itu dia pun menjawab dengan benar, jujur, tanpa kebohongan, di bawah sumpah , semua pertanyaan yang diajukan, baik oleh majelis hakim, penasehat hukum, maupun para para Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Apabila para saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa karena yakin akan kesalahannya, maka sebagai saksi ahli agama yang diajukan oleh para penasehat hukum bersifat meringankannya.
Selanjutnya nanti majelis hakim yang memutuskan. “Kesaksian itu saya berikan berdasarkan ilmu, bukan karena dorongan hawa nafsu ingin popularitas, uang atau keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidak adil dan bertentangan dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya,” tegas dia.
Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa dirinya, terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa tabayyun.
“Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan.”
Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Qs. al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired. Berita itu berita bohong (hoax).
“Yang benar adalah bahwa saya mengatakan, konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzul-nya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya.
Ayat tersebut, kata dia, pada masa itu tidak ada kaitan dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur.
Adapun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat. Kata ” awliya’ “yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti atau makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir.
Pernyataan itu saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer,” ujar dia.
“Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim, lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk nasibnya, maka jangan tergesa-gesa di percaya.
Untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayyun (klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat kejadian perkara.
Terkait Ahok, dia mengrtahui dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik kepada Ahok maupun kepada sebagian penduduk kepulauan Seribu, karena merasa yakin dengan mencukupkan menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Akquran dan ulama.
Padahal diperintahkan agar umat Islam bersikap adil, dilarang zalim kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci.
Bila kemudian pendapatnya berbeda dengan Ketua Umum MUI KH. Ma’ruf Amin sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu, maka itu hal biasa, wajar, dan lazim.
“Bagi saya berbeda pendapat itu tidak menafikan penghormatan kepada dua kiai besar tersebut,” pungkasnya. (tim detakpos).