SARWONO KUSUMAATMADJA DAN AKTIVIS KORIDOR TENGAH

 

Mendengar berita wafatnya Sarwono Kusumaatmadja, pikiran saya melayang ke era tahun 80-an. Saat itu saya tumbuh sebagai aktivis mahasiswa dan sudah menjadi kolomnis banyak koran, termasuk Kompas.

Itu era ketika Sarwono menjadi sekjen Partai Golkar yang pertama dari kalangan sipil. Sebelum Sarwono, Golkar yang saat itu dikenal sebagai partainya Pak Harto, sekjennya selalu memiliki riwayat militer.

Hanya ada tiga partai di era itu: Golkar, PPP dan PDI. Tiga politisi muda yang menonjol dari tiga partai itu acapkali menjadi sumber berita. Ia adalah Sabam Sirait (PDI), Ridwan Saidi (PPP) dan Sarwono Kusumaatmadja (Golkar).

Sekitar tahun 1986, Kompas meliput lahirnya Gerakan Kelompok Studi mahasiswa. Foto saya muncul di halaman satu Kompas karena saya dianggap pelopor bangkitnya Kelompok Studi Mahasiswa itu dengan mendirikan Kelompok Studi Proklamasi.

Tak hanya mendirikan kelompok studi mahasiswa, saya pun menuliskan konteks politik kelahirannya dalam kolom yang dimuat Kompas, sebelum Kompas meliput kelompok studi mahasiswa.

Sejak saat itu, saya sering menjadi pembicara asongan. Saya diundang menjadi pembicara di banyak tempat mewakili pandangan mahasiswa dan kaum muda.

ini kegiatan yang sangat saya sukai. Salah satunya karena selalu menerima honor. Dana yang saya dapat sebagai pembicara sangat membantu saya membiayai uang kuliah saya sendiri.

Menyambut Sumpah Pemuda, sebuah radio swasta mengundang saya menjadi pembicara. Yang juga diundang sebagai pembicara adalah Sarwono Kusumaatmadja.

Kami diminta bicara mengenai peran kaum muda dalam situasi politik masa kini. Saat itulah saya semakin mengenal sikap politik Sarwono, yang ia ambil secara sadar dan penuh perhitungan.

Sebagai aktivis mahasiswa, yang saat itu sudah terobsesi dengan gagasan demokrasi dan hak asasi, saya bicara di tataran tahap ideal.

Saya ceritakan pentingnya kaum muda selalu memberikan gagasan baru untuk zamannya. Di era kolonial, kaum muda mempopulerkan gagasan baru Indonesia merdeka.

Kini di era Orde Baru, kaum muda perlu pula terus menerus mempopulerkan gagasan baru Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Cepat atau lambat, Indonesia harus memilih jalan demokrasi agar masuk menuju peradaban modern.

Sebagai aktivis mahasiswa, yang juga masih lugu dalam politik, saya bicara ringan saja. Termasuk soal isu yang sensitif saat itu.

Saya nyatakan pentingnya supremasi sipil di saat yang berkuasa justru “Dwi Fungsi ABRI.” Juga soal pentingnya pemilu yang dapat mengganti kekuasaan. Padahal kala itu sangat tabu dan sensitif bicara suksesi presiden.

Sarwono diminta menanggapi pandangan saya. Secara arif Sarwono merespon, sebagai anak muda, Denny memang harus menyuarakan gagasan zamannya.

Tapi tentu saya pribadi memilih peran yang berbeda. Saya berada di lingkar kekuasaan. Saya tidak bergerak berdasarkan apa yang ideal, tapi apa yang bisa dikerjakan menuju perbaikan setahap- setahap.

Selesai diskusi, Sarwono mengajak saya bicara di ruangan terpisah. Terasa sebagai senior, ia memberi semangat kepada saya untuk terus menyuarakan gagasan modern. “Anda kan anak kandung zaman ini.”

Sarwono bercerita aneka keterbatasan di dalam pemerintahan sekarang. “Tapi,” ujarnya, “kalangan kekuasan tahu kok. Saya termasuk yang paling progresif menganjurkan banyak perubahan, walau tak bisa terlalu frontal dengan pikiran Pak Harto.

-000-

Kemudian hari, Sarwono mengembangkan pilihan politiknya sebagai “Koridor Ruang Tengah.”

Ujar Sarwono, ia hidup di era dua ekstrem yang tak boleh disentuh. Ekstrem pertama: jangan pernah bicara mengubah Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Ekstrem kedua: jangan pernah bicara suksesi presiden untuk menggantikan pak Harto.

Di antara dua ekstrem itu tersedia koridor tengah. Di area itulah, Sarwono memilih bermain.

Koridor tengah juga dapat diartikan dengan cara lain. Di satu sisi: oposisi yang frontal terhadap Pak Harto. Di sisi lain, menjadi lingkaran Cendana, paling inti dari Pak Harto.

Sarwono pun memilih koridor di tengah. Ia tidak memilih beroposisi dengan pak Harto. Sisi lain, ia juga menghindar menjadi lingkaran dalam Cendana.

Kesempatan menjadi orang inti Cendana saat itu terbuka. Pernah datang satu era. Sarwono dipanggil ke Cendana hampir setiap minggu.

Empat mata saja mereka bicara. Pak Harto banyak bercerita. Sarwono banyak menjadi pendengar saja. Namun dari cerita yang dikisahkan pak Harto, tak terkait dengan tugas Sarwono sebagai menteri atau sekjen Golkar.

Sarwono sempat bingung juga. Mengapa ia dipanggil tapi hanya untuk menjadi pendengar kisah- kisah Pak Harto yang tak terkait langsung dengan kerja Sarwono.

Ia pun bertanya kepada seniornya yang lebih berpengalaman dengan Pak Harto, seperti Sudharmono dan Benny Moerdani. Keduanya menjawab sama. Sarwono sedang diuji untuk direkrut menjadi orang inti Cendana.

Sarwono juga mendengar. Menjadi orang inti Cendana ada suka dan dukanya. Suka karena ia banyak dapatkan kemudahan karena pak Harto sangat berkuasa saat itu.

Namun dukanya, orang inti Cendana sering mendapatkan tugas khusus. Kadang tugas itu bertentangan dengan suara hati. Toh, tugas itu harus dikerjakan. Dan ia harus tutup mulut pula.

Sarwono menolak untuk menjadi orang inti Cendana. Secara sadar, ia memilih koridor tengah saja. Itu bukan koridor kelompok oposisi. Namun bukan juga koridor lingkaran inti.

Di ruang koridor tengah itu, Sarwono lebih menemukan jati dirinya. Dirinya tetap bisa bermanuver dalam komunikasi publik, walau tak beroposisi frontal dengan Pak Harto.

-000-

Di era reformasi, Sarwono
konsisten dengan pilihan koridor tengah. Ia tak beroposisi kepada presiden manapun, sejak Habibie, Mega, Gus Dur, SBY hingga Jokowi. Ia juga tidak menjadi tim inti presiden manapun.

Kita mendengar kepedulian panjang Sarwono soal lingkungan hidup. Dari beberapa sumber, saya mendengar ia memberikan bantuan dana kepada kelompok nelayan.

Dana itu dijadikan pinjaman dana bergulir yang membantu banyak kehidupan nelayan.

Pak Sarwono menjelma menjadi seorang aktivis, yang menyuarakan isu lingkungan hidup. Bahkan ketika ia menjadi pejabat pemerintahan dan sekjen partai Golkar, spiritnya sebagai aktivis sudah terasa.

Terakhir saya kontak langsung dengan Sarwono, di tahun 2018. Saat itu, ia menelfon saya memberikan selamat.

Itu momen, ketika bersama Tim LSI dan KBI, saya dianugrahi Guiness Book of Record, memecahkan rekor dunia untuk pendidikan politik. Kami memberikan pendidikan Pancasila, yang dianggap terbanyak untuk
ukuran pendidikan politik tingkat dunia. (1)

“Selamat ya Den. Pancasila itu warna Indonesia. Sudah benar Pancasila itu yang anda harus angkat untuk membawa Indonesia lepas dari kungkungan politik agama,” ujar Sarwono.

“Siap, senior.” Saya selalu memanggilnya senior setiap kali bersapa.

Kini sang senior itu sudah pergi. Ia meninggalkan legacy pilihan politik koridor tengah.

Selamat jalan Sarwono. Selamat jalan, senior.***(Denny JA)

26 Mei 2023

CATATAN

(1) Guiness Book of World Record pendidikan politik terbanyak untuk Indonesia:

https://timesindonesia.co.id/amp/peristiwa-nasional/180341/lsi-denny-ja-pecahkan-world-guiness-book-of-record-untuk-pendidikan-politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *