Oleh : A Adib Hambali (*
ALUNAN Shalawat Badar sayup sayup terdengar dari kejauhan. Semakin mendekati Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) di Jalan Rajekwesi, Bojonegoro, semakin nyaring terdengar lantunan syair qasidah yang diciptakan KH Ali Manshur Shiddiq, ulama asal Desa Maibit, Rengel, Tuban.
Rasa bangga pun muncul dalam hati melihat ratusan massa mengenakan baju putih. Mereka adalah guru ngaji TPQ (Taman Pendidikan Qur’an dan Forum Pecinta Qur’an.
Bangga melihat jumlah guru ngaji yang berkumpul sekitar 2.50- an. Mereka adalah orang orang Istiqamah mengajarkan Al-Qur’an pada anak anak dengan harapan generasi mendatang terjaga perilaku, mental dan berakhlakul karimah, sehingga bisa menjauhi perbuatan yang dilarang seperti korupsi.
Ironis, guru ngaji yang dikenal ikhlas tanpa pamrih itu tiba tiba harus berurusan masalah hukum. Pasalnya, Ketua Forum Komunikasi Pendidikan Qur’an (FKPQ) Bojonegoro Shodikin ditahan karena diduga korupsi dana BOP (Biaya Operasional Pendidikan) untuk pencegahan Covid-19.
Beberapa perwakilan guru ngaji itu pun berorasi sambil menangis histeris karena meyakini gurunya yang ditahan Kejari ini tidak bersalah. Selama ini telah mengabdi dan membantu sejumlah TPQ di Bojonegoro untuk memajukan lembaga pendidikan mereka dan banyak membantu pendidikan para guru ngaji.
Versi Kejari dan FKPQ
Kejari Bojonegoro menetapkan warga Kelurahan Ngrowo, Kecamatan Kota Bojonegoro itu sebagai tersangka karena terbukti diduga melakukan penyimpangan dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama RI di Kabupaten Bojonegoro untuk bantuan TPQ di Bojonegoro.
Pihak Kejari
menyatakan, kasus bermula dari program pemulihan ekonomi nasional yang diberikan kepada TPQ melalui Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk penanganan Covid-19, atas usulan dari bawah yakni Forum Komunikasi Pendidikan Al-Qur’an (FKPQ), dan di Bojonegoro sendiri mendapatkan Rp. 14,260 miliar, di bagi ke 1.426 TPQ, yang tersebar di 27 kecamatan. Namun terealisasi 1.322 TPQ di mana masing-masing lembaga mendapatkan Rp. 10 juta.
Setelah ada pembagian di beberapa TPQ, sejumlah pengurus TPQ keberatan. Seharusnya mendapatkan Rp 10 juta, ternyata ada pemotongan. Dalam pelaksanaanya dilakukan oleh FKPQ dengan jumlah Rp. 1,07 milliar dengan dalih infaq.
Sementara itu salah seorang peserta aksi unjuk rasa dan pengurus FKPQ mengklarifikasi soal pemungutan Rp 1 juta. Sejak awal uang itu disepakati untuk biaya pengurusan, administrasi, dan transportasi pengiriman APD (alat pelindung diri) ke lembaga lembaga yang tersebar di daerah Bojonegoro.
Oleh pihak CV, APD tersebut di-drop seluruhnya di pengurus cabang dan diteruskan kordinator pengurus kecamatan(Kortan) FTPQ, baru diteruskan ke lembaga lembaga. Untuk bisa sampai dibutuhkan transpor.
Menurut versi pengurus FKPQ, tidak benar jika disebut korupsi karena tidak menggunakan dana BOP.
Meski ada kesepakatan Rp 1 juta, lembaga membayar Rp 600.000 untuk cabang dan kortan juga ada kesepakatan biaya pengurusan administrasi, dan tranportasi pengiriman ke lembaga sebesar Rp 400.000. Itu dibayar sebelum dana BOP cair, artinya itu dibayar menggunakan uang lembaga.
Aroma tidak sedap dugaan “bancakan” dana BOP Covid-19 ini sebelumnya telah menyeruak. Salah seorang peserta aksi mengaku masalah pertama yang muncul adalah uang APD yang disetorkan ke CV Rp 6 juta. Namun kenyataan harga APD yang diserahkan diperkirakan hanya senilai Rp 3 juta.
Sebelum dana BOP cair, melalui kordinator FKTPQ
Kortan, masing masing lembaga dipertemukan dengan pihak CV yang melakukan pengadaan APD. Pihak CV memasok barang kebutuhan setiap lembaga dengan mematok harga Rp 6 juta.
Mereka tidak berpikir panjang, karena saat itu pandemi Covid-19 masih tinggi, sehingga menganggap cara lebih praktis jika dikoordinir pengadaan ADP oleh CV tersebut.
Setelah dana BOP cair langsung dibayarkan ke pihak CV oleh lembaga, tidak melalui kortan maupun cabang. Masih menurut pengakuan pihak FKPQ, barang diterima nilainya tidak sampai Rp 6 juta, tapi pada kisaran Rp 3 juta.
Pemilik TPQ itu kaget terhadap perubahan permasalahan dari soal harga APD tidak sesuai dengan barang yang terima ini berubah ke soal dugaan pengutan Rp 1 juta. Itulah di antaranya masalah yang disampaikan dalam aksi tersebut.
Kajari Bojonegoro, Badrut Tamam merespons positif semua aspirasi yang disampaikan guru ngaji pada aksi unjuk rasa pada Rabu (3/11/2021). Dia pun menyarankan agar menempuh jalur hukum yang disediakan yakni lewat persidangan.
Dan jika yang telah dilakukan oleh Kejari dianggap tidak sesuai aturan perundang-undangan maka ia mempersilahkan untuk menempuh jalur pra-peradilan.
Di hadapan ratusan masa aksi Badrut Tamam juga menegaskan, pihaknya telah mengusut kasus ini secara terbuka. Termasuk dalam pemeriksaan para guru ngaji.
Kalau ada yang merasa di-dzalimi dan harus mengaku begini, mendzolimi A, B, semua ada jalurnya.
“Jadi saya sebagai orang baru siap memproses itu. Kalau memang ada anak buah saya dari Kejaksaan Negeri Bojonegoro ini melakukan hal-hal yang menyimpang laporkan. Kita semua sama di depan hukum,’’tegas Kajari.
Respons positif Kajari ini perlu diapresiasi dan dimanfaatkan oleh guru ngaji atau pihak FKPQ untuk menyampaikan fakta fakta yang mereka anggap benar di sidang pra-peradilan.
Tidak perlu melakukan aksi unjuk rasa besar besaran lagi, karena itu bisa saja menimbulkan image negatif terhadap lembaga yang “keramat” ini. Bisa saja mengesankan mereka menolak upaya pemberantasan korupsi.
Akan lebih baik jika menuntut agar kasus BOP Covid-19 ini diusut tuntas, termasuk dana pengadaan APD Rp 6 juta yang dianggap tidak sesuai, seraya mendoakan melalui istighosah agar Kajari dan tim jaksa diberi kekuatan mengusut tuntas kasus ini, dan menindak siapa pun yang terlibat agar tidak ada image bahwa hukum ini “tumpul ke atas, tajam ke bawah”.Aamin YRA.
*): Redaktur senior Detakpos.com