Beda Buya Hamka dan Kiai Miftah

Oleh: A Adib Hambali (*

MUSLIM di Indonesia adalah kekuatan besar yang tidak mungkin ditinggalkan dari panggung politik di Tanah Air. Adalah fakta, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Adalah Presiden RI Soeharto yang mempunyai gagasan menyatukan ulama dalam satu wadah. Sejak 1973, gagasan wadah para ulama untuk membahas perkaranya umat dan mengeluarkan fatwa terkait hukum dan praktik Islam, di antaranya terkait halal-haram makanan/minuman dan lain lain digulirkan. (James Rush dalam Adicerita Hamka, 210). di

Musyawarah Nasional I Majelis Ulama menghasilkan piagam berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 17 Rajab 26 Juli 1975. Pendirian MUI dihadiri 26 ulama mewakili 26 provinsi, 10 ulama pusat dari NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah; empat ulama dari Dinas Rohani Islam empat angkatan dalam ABRI; serta 13 orang dengan reputasi sebagai cendekiawan. Di antara perorangan ini terdapat Kasman Singodimedjo dan Buya Hamka.

MUI menyatakan diri sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

Pada Juni 1973, Buya Hamka dilobi oleh Menteri Agama Mukti Ali agar mau menjadi Ketua MUI. Hamka dikenal sebagai penulis dan ulama. Dia seorang Muslim Muhammadiyah yang menjauhkan diri dari fanatisme. Buya Hamka secara teratur diundang berbicara di acara-acara Nahdatul Ulama.

Buya Hamka diharapkan bisa memjembatani lebih banyak golongan. Seperti dicatat Rush, Hasan Basri—yang kemudian jadi Wakil Ketua MUI—menyebut Buya Hamka “satu-satunya pilihan, maka dipilih menjadi Ketua MUI pertama.

Saat itu MUI dimaksudkan sebagai wahana penguasa untuk mengontrol Islam demi kepentingannya. Hal ini sempat menjadi stigma bagi MUI. Buya Hamka pun mundur sebagai Ketua MUI pada 1981, seperti dicatat Ricklefs, “sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah”.(M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013:277),

Pada 1998,  Soeharto lengser. MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan umat Islam—terutama dari kelompok-kelompok paling konservatif di hadapan pemerintah.

Pasca-orde baru, seperti dicatat Fawaizul Umam dalam “Kala Beragama Tak Lagi Merdeka” (2014:156), “MUI tampak memainkan peran sebagai pemberi legitimasi teologis atas setiap kebijakan negara, di masa reformasi, saat negara melemah, MUI-khususnya dalam konteks praksis kebebasan—memainkan peran terutama sebagai lembaga control yang menjalankan semacam screening (penyaringan) keyakinan guna menertibkan praktik-praktik keber-Islaman masyarakat dengan memancang keyakinan mainstream sebaga tolok ukur utama.”

Setelah rareformasi, MUI mengalami transformasi yang agak ‘radikal’. Perubahan amat penting terjadi pada Munas MUI ke-VI pada 2005. Sejak itu, wajah MUI sebagai ormas yang ultra-konservatif amat kelihatan.

Beberapa tokoh Islam ‘kanan’ masuk di kepengurusan, termasuk dari HTI,” cuit cendekiawan muslim Ulil  Abshar Abdalla di Twitter, Sabtu, 28 November 2020. Puncak konservatisme MUI terjadi pada 2017, ditandai dengan fatwa tentang tidak bolehnya seorang non-Muslim menjadi gubernur.

Dengan fatwa itu, lahirlah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, yang  diketuai oleh Bachtiar Nasir, Yusuf Martak, yang keduanya merupakan pengurus MUI, dan berikutnya lahir kelompok PA- 212.

Ketua Umum MUI periode 2020-2025, KH Miftachul Akhyar pada Jumat dinihari, 27 November 2020, terpilih dengan konsep utama menjadikan kumpulan para ulama.

Tugas para ulama pada umumnya adalah berdakwah. Dakwah itu mengajak bukan mengejek, merangkul, bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, dan  membela bukan mencela.

Tujuan umum MUI, di antaranya memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan ketahanan nasional. Selain itu, Partisipasi ulama dalam pembangunan nasional dan mempertahankan keharmonisan antarumat beragama di Indonesia.
Inilah salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh alam).

Namun, setahun kemudian, Densus 88, di kawasan Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa, (16/11/2021), menangkap tersangka jaringan teroris. Di antarnya adalah oknum-oknum dan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Zain An Najah.

Ini mengganggu ikhtiar Kiai Miftah, dan mengonfirmasi bahwa intoleransi, radikalisme dan terorisme telah berhasil menyusup secara sistemik ke berbagai institusi sosial, organisasi keagamaan, bahkan juga institusi pemerintahan dan BUMN.

Pada Februari 2022, Irfan Idris, Direktur Penindakan BNPT, mengingatkan kembali bahwa teroris menyusup dan berusaha menguasai sebuah lembaga, seperti Perguruan Tinggi. Jadi teroris tidak langsung melancarkan aksi teror. Di bulan itu juga dua oknum anggota MUI Bengkulu ditangkap Densus 88 terkait dugaan tindak pidana terorisme.

Belum hilang dari ingatan kita kasus kasus itu, tiba tiba saja dikejutkan oleh berita Kiai Miftah mundur dari Ketua umum MUI yang disampaikan pada saat memberikan pengarahan dalam Rapat Gabungan Syuriyah-Tanfidziyah PBNU di Kampus Unusia Parung, Bogor, Jawa Barat Rabu (9/3/2022).

Kiai Miftah berkomitmen untuk merealisasikan janji di hadapan Majelis ahlul halli wal aqdi saat Muktamar NU di Lampung dengan mengajukan pengunduran diri dari jabatan Ketua Umum MUI.

Jika Buya Hamka mundur dari Ketua MUI Pusat karena tekanan pengusaha orde baru, Kiai Miftah memenuhi janji tidak merangkap jabatan Ketua Umum MUI dengan Rais Aam Syuriah PBNU.*).

-Redaktur senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *