Fikih Peradaban, Pintu Hijrah Ke Demokrasi

Oleh A Adib Hambali +

PERUBAHAN mendasar dunia akan terjadi jika mayoritas dari 50 negara Muslim hijrah menganut demokrasi. ‘Indonesia bisa menjadi model, walau harus terus berevolusi menuju demokrasi yang penuh.

Mungkinkah mayoritas 50 negara Muslim berbondong-bondong atau berangsur- angsur hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan? tulis konsultan politik Denny JA dalam grup WA di Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Menurut data Democracy Index 2019, dari 50 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, 60 persen menerapkan politik otoriter. Mereka yang menerapkan democracy penuh tak ada sama sekali, alias nol persen.

“Hanya tiga negara Muslim, termasuk Indonesia, yang menerapkan demokrasi “setengah matang.” Lanjut pendiri LSI Denny JA.

Semua itu tidak hanya mungkin, tapi harus terjadi. Mungkin, karena sistem yang tumbuh di satu negara adalah anak kandung dari dinamika politik, ekonomi, dan budaya.

“Terbanglah lebih tinggi melihat lima ribu tahun peradaban. Apa yang kita lihat? Tak lain dan tak bukan yang nampak hanya satu: Yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Bekerjanya hukum sosial selalu mungkin memaksa lima puluh negara Muslim hijrah memeluk demokrasi.

Mayoritas 50 negara Muslim harus menganut demokrasi dan kebebasan. Selalu lahir para pemimpim, pejuang, pahlawan yang inginkan lebih.Pew Research Center, lembaga peneliti berpusat di AS menyatakan, tahun 2070, penduduk Muslim akan menjadi terbanyak di dunia.

Hadirnya negara Muslim yang bebas dan demokratis, atau yang sebaliknya, akan mempengaruhi dunia nyaman atau bergolak. Apalagi saat itu, mulai tahun 2070, Muslim adalah populasi paling banyak.

Demi dunia yang lebih baik, mayoritas 50 negara Muslim harus hijrah menganut demokrasi. Yang tersisa kemudian, adalah kapan dan bagaimana?

Satu Abad NU

Gagasan demokrasi telah tiba di dunia Muslim. Setidaknya pintunya telah dibuka oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Melalui peringatan Harlah Satu Abad telah menggelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Surabaya pada Senin (6/2/2023) telah membuahkan sejumlah butir rekomendasi.

Muktamar Internasional Fikih Peradaban I dihadiri ratusan ulama dari berbagai negara dan mengundang sedikitnya 15 pakar sebagai pembicara kunci, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Tekad satu Abad NU berpendapat bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fiqih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.

Cita-cita mendirikan kembali negara khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan nonmuslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi.

Sebagaimana terbukti akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan negara ISIS. Usaha semacam ini niscaya akan berakhir dalam kekacauan dan justru berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok agama atau maqashidu syariah yang tergambar dalam lima prinsip; menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta.

Dalam kenyataannya, usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara khilafah, nyata-nyata bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama tersebut. Ini dikarenakan usaha semacam ini akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik.

Lebih dari itu, jika pun akhirnya berhasil, usaha-usaha ini juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia. Sejarah menunjukkan, kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu didampingi dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda.

Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau nonmuslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyyah).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Misalnya, praktik adanya hak veto negara adidaya yang masih menjadi sorotan karena menimbulkan ketidakadilan dunia

Namun demikian piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan lembaga itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.

Dari pada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilafah, Nahdlatul Ulama memilih jalan lain, mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fiqih, yaitu fiqih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariah.

PBB menjadi organisasi pemersatu antarnegara bangsa. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah organisasi PBB ini dapat menjadi pemegang otoritas secara hukum Islam?

Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang mendukung,” kata Nyai Hj Iffah Umniyati Ismail, Anggota Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), saat memberikan tanggapan pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I .

Kemudian, ia juga mencari letak teks suci beserta cabang hukum yang muncul dari teks suci itu dengan mengikuti dan memanfaatkan warisan intelektual fiqih Islam. Hal ini bukan sekadar kutip-mengutip langsung atau memindahkannya pada realitas. Melainkan mengutip dengan mempertimbangkan jarak realitas kita dan mereka.

Selain itu juga memandang hukum syar’i bisa dibedakan menjadi dua, yakni hal yang konstan (tetap) dan yang bersifat variabel atau mengalami perubahan dan memerlukan ijtihad. Perubahan tersebut diketahui melalui upaya terus-menerus untuk mengukur jarak antara realitas saat ini dan sebelumnya. kita kembali ke ilmu ushul fiqih.

Para ulama zaman dahulu meneladankan cara penyelesaian melalui metode fiqih dengan cara yang beragam. Masing-masing mazhab mengembangkan pendapat fiqih sesuai zamannya.
Dari keterangan di atas bahwa salah satu jalan yang paling mudah dalam mengakses pengetahuan masa lalu dan meproduduksi pengalaman baru adalah taklid secara metodologis (taqlid manhaji). Dengan begitu, produksi hukum baru lebih leluasa diciptakan atas dasar itu.

Oleh karena itu, ia menerapkan metode induksi bahwa masyarakat saat ini telah beralih dari bentuk organisasi sosial yang berdasarkan kabilah ke nasionalisme. Saat ini, sudah tidak lagi ada satu ruang yang hanya dikuasai kabilah.
“Semuanya tunduk pada nasionalisme modern,” ujar perempuan yang menamatkan seluruh studi pendidikan tingginya di Fakutlas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.

Mengingat sudah menjadi adat istiadat yang umum, dan karenanya menjadi dalil itu sendiri sesuai dengan kaidah fiqih bahwa adat istiadat itu sudah jadi dalil.

Meskipun ada perbedaan antarnegara bangsa itu, urusan negara itu tetap sama, yaitu memerlukan sistem kontrol demi kemaslahatan.

Berdasarkan teori maslahah mursalah (kemaslahatan), maka PBB layak dijadikan sebagai otoritas karena berdiri untuk kepentingan kemaslahatan, harga diri manusia, kedamaian, dan kemananan.

“Maka boleh kita mengatakan bahwa organisasi itu sukses apabila kemaslahatan itu dapat terealisasi. Apabila tidak berhasil, maka yang kita lakukan adalah memperbaiki diri, bukan menghancurkan organisasi (PBB) yang ada itu,” katanya.

Dalam rangka ini, ia berharap penjelasannya sudah cukup menguraikan dan menjawab kekokohan PBB sebagai otoritas.
“Saya memulai argumentasi dari sumber primer Al-Qur’an, hadits, ijmak, dan sumber sekunder seperti maslahah mursalah.
Ulama ahli fikih asal Afrika, Prof Koutoub Moustapha Kano memastikan bahwa bentuk negara-negara modern sudah sesuai dengan ajaran Islam. Menurutnya, hukum Islam bersifat dinamis yang bisa disesuaikan dengan konteks di wilayahnya masing-masing.

“Hukum fikih memiliki keluasan yang bisa disesuaikan dengan konteksnya masing-masing,” jelas Prof Kano saat menyampaikan materi secara virtual dalam acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban.

Sekjen Council of Islamic Fiqh Afrika itu menambahkan, bukan hanya soal negara modern yang mendapat legitimasi Islam, sifat dinamis Islam ini juga berlaku pada sistem ekonomi, sosial, dan sebagainya, asalkan sistem itu cocok dengan masyarakat setempat.

“Bentuk negara Islam yang ideal
ini semuanya bersifat ijtihad yang dinamis yang bisa berubah karena perbedaan adat, tradisi, dan sebagainya,” imbuhnya.

Rasulullah tidak pernah menentukan sebuah bentuk negara, misalnya negara kerajaan, kebangsaan atau yang lainnya. Hal yang terpenting adalah terjadi sebuah kesepakatan aturan yang ditentukan.

Piagam Madinah ada aturan hubungan antar manusia yang telah memilih hidup bersama di suatu negara. Ini contoh yang dilakukan oleh Rasulullah,” ujarnya.

Ia juga menyinggung tentang sejarah Imam Syafi’i yang pernah membuat dua keputusan hukum, yaitu ketika di Baghdad dan Mesir, keduanya sering disebut dengan istilah qaul qadim dan jadid.
Imam Syafi’i pernah memberikan jawaban yang berbeda karena perbedaan konteks ketika berada di Iraq dan Mesir.

Sebanyak lima maksud dibuatnya hukum syariah atau yang dikenal dengan istilah maqashidu syariah. Dibuatnya hukum Islam adalah untuk menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.

Yang penting hukum tersebut bisa menjaga jiwa secara universal, menjaga harta muslim atau non muslim, dan sebagainya.

Para ulama dunia agar tidak pernah ragu untuk berijtihad, karena produk hukum yang dibuat berabad-abad yang lalu, belum tentu cocok untuk diterapkan di masa kini. Jika ada hukum yang merusak stabilitas, maka jangan diadopsi.

Hukum yang dibuat di masa lalu kemudian ternyata malah merusak ekosistem kehidupan manusia, hal itu seperti obat kadaluwarsa yang akan merusakan sistem biologis dalam tubuh manusia.(+)

Redaktur senior detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *