Khittah Plus Terjawab

Oleh: A Adib Hambali (*

SALAh satu elite PBNU di majalah AULA, edisi November 2018, menulis dengan judul, “Penguatan Ulama dan Pembaharuan Khitthah NU.”

Diprediksi pasca-Pilpres 2019 dan Muktamar NU 2020 nanti akan ada khitthah plus atau apa pun namanya, yang bakal mengubah posisi NU menyusul terpilihnya mantan Rais Aam KH Ma’ruf Amin menjadi Wakil Presiden, yang digandeng Presiden Joko Widodo tanpa melalui partai.

Gagasan itu mengundang pendapat yang mengkritisi, karena jangan sampai gagasan khittah plus ini justru bisa men –downgrade posisi NU.

Khittah NU sendiri adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdliyyin yang harus dicerminkan dalam prilaku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.

Definisi tersebut tertuang dalam naskah Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun’im DZ dalam buku Piagam Perjuangan Kebangsaan (2011).

Naskah Khittah yang dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh sejumlah kiai menjadi tonggak kembalinya NU dalam rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal didirikan.

Keputusan NU menjadi partai pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan organisasi karena fokus lebih ke arah politik praktis.

Dalam proses berikutnya, keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat. Setelah menjadi partai politik pada 1952 banyak juga dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke khittah. Keinginan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis.

Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah, bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.

Setelah itu seruan kembali ke khittah sempat terhenti. Gagasan tersebut muncul lagi pada 1979 ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah.

Seperti sebelumnya, usulan kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga terhenti. Apalagi NU sedang giat memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP.

Namun praktiknya, kelompok kritis kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.

Misi kembali ke khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran pemulihan Khittah NU 1926.

Naskah ini dibahas secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur, Jakarta. Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakan Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur, satu tahun sebelum digelar Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.

KH Achmad Siddiq menegaskan, Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya.(NU online/2017)

Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan ke Indonesiaan.

Naskah Khittah Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Bersama para aktivis lain, H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai sepuh lain.

Menurut kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke khittah 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur.  (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)

Pandangan kebangsaan kedua tokoh, dan didukung oleh para kiai lain mampu membawa NU ke track yang sesungguhnya. NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara.

Sebab itu, politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara.

Gagagasan khittah plus muncul dalam suasana menjelang Pilpres 2019 yang diikuti olen tokoh NU KH Ma’ruf Amin yang digandeng capres Joko Widodo.

Jika tujuan khittah plus terkait dengan politik praktis, yang menjadi pertanyaan apakah sebuah kemajuan NU atau kemunduran seperti sebelum kembali ke khittah 26.

Politik Kerakyatan

Pertanyaan pun sekarang terjawab oleh sikap Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj. Dia tetap berpegang pada politik kerakyatan sesuai khittah dengan menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo -KH Ma’ruf Amin.

Kiai Said menyebut Negara Republik Indonesia saat ini dikuasai oleh segelintir orang yang hanya punya uang.

Kritik Kiai Said disampaikan di depan para tokoh di antaranya Dr Syeikh Ali Ibrahim Abdallah dan Dr Syeikh Muhammad Hussaini Farraj dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Selain itu, sejumlah tokoh agama seperti KH Cecep Abdullah Syahid (Pengasuh Pesantren Al Falah Cicalengka Bandung, Juara Qori Internasional), Muhammad Luthfi (Ketua DPRD Kabupaten Cirebon), KH Aziz Hakim (Ketua PCNU Kabupaten Cirebon) dan sekitar 10 ribuan jemaah yang hadir di acara Haul ke-6, KH Anas Sirojudin.

“Melarat tidak punya duit jangan berharap jadi Bupati Cirebon, melarat tidak punya duit jangan berharap jadi Gubernur Jawa Barat. Yang pegang kuasa adalah Oligarch, sekelompok kecil yang punya duit. Atau didukung orang yang punya duit, paham mboten?,” kata Kiai Said dengan suara lantang di hadapan para jamaah haul.(Tribunnews,27/12/2019).

Meski ada Kiai Ma’ruf Amin di sana, Kiai Said ingin menegaskan bahwa NU tetap memegang teguh khittah 26, meski dalam hiruk pikuk Pilpres 2019, banyak orang NU secara pribadi terlibat politik praktis. Artinya secara organisasi NU tidak terlibat dalam politik praktis, tetap menjalankan politik keumatan, kerakyatan dan kebangsaan.*)

Penulis: Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *