Oleh: A Adib Hambali (*)
FENOMENA perpolitikan di daerah setelah pemilihan kepala daerah (pilkada), yang muncul biasanya “pecah kongsi.”
Demikian para pengamat memberi label pada situasi politik terkait bercerain duet kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri periode 2010-2014, Djohermansyah Djohan mensyinyalir, kinerja kepala daerah seperti gubernur, bupati dan wali kota tidak lepas dari gerak wakil. Namun, hampir 90 persen kepala daerah dan wakil pecah kongsi di tengah jalan.
Secara normatif, hingga saat ini tidak ada satu pun ketentuan yang melarang pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah bercerai.
Oleh sebab itu fenomena ini secara politik menjadi “halal”. Tetapi dari sisi etika, perilaku ini pantas dipersoalkan.
Yang paling mendasar adalah fenomena pecah kongsi ini mengisyaratkan, kontestasi pilkada benar-benar hanya menjadi ajang pertarungan memperebutkan kekuasaan dan kedudukan belaka.
Setidaknya, orientasi kekuasaan untuk kekuasaan jauh lebih hegemonik dalam cara pikir para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan, dibandingkan dengan orientasi kekuasaan untuk mewujudkan esensi makna kedaulatan rakyat, misalnya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Perilaku ini jelas mengindikasikan betapa rendahnya akuntabilitas politik sang pemimpin terhadap amanah konstituen yang telah memberikan mandat kuasanya. Seperti sebuah ungkapan, “mereka tidak menyelesaikan apa yang telah mereka mulai”, yang justru mereka minta sendiri kepada rakyat.
Sementara itu, dalam konteks tatakelola pemerintahan, fenomena ini juga berpotensi tak sehat bahkan kontraproduktif.
Sejumlah aspek tatakelola dan ekologi pemerintahan jelas bisa terganggu dengan situasi ini. Mulai dari soliditas birokrasi, stabilitas manajemen hingga aspek pelayanan publik yang seharusnya menjadi concern mereka sebagai kepala dan wakil kepala daerah.
Dalam konteks jangka menengah dan panjang, fenomena pecah kongsi yang semakin masif ini juga berpotensi buruk terhadap derajat kepercayaan politik masyrakat. Terutama pada segmen masyarakat yang kritis secara politik.
Djohan dalam diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu, 10 Februari 2018 menyebutkan, calon kepala daerah dan wakil perlu memiliki visi dan misi sama.
Bukan sekadar visi misi yang diperlihatkan dan dijanjikan kepada rakyat untuk memenangkan pertarungan.
Banyak sekali yang berpasangan tetapi tidak ada chemistry-nya. Asal saja yang penting ada pasangan dan seolah-olah sama visi misinya. Kalau seperti itu selamat datang “pecah kongsi.”
Terjawab
Fenomena negatif tersebut dijawab oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang membagi tugas dengan Wagub Emil Dardak. Dia tidak menjadikan wakilnya sebagai “ban serep” alias tidak ada pembagian tugas yang jelas, atau hanya mewakili acara yang tidak bisa diikuti oleh gubernur.
Munculnya pecah kongsi itu biasanya lahir dari kepala daerah tidak membagi tugas secara jelas dengan wakilnya, sehingga kesan hanya menjadikan “ban serep” yang lebih mengemuka.
Visi misi mewujudkan masyarakat adil, sejahtera, unggul dan berakhlak dengan tata kelola pemerintahan partisipatoris inklusif melalui kerja bersama dan semangat gotong royong telah dibacakan di hadapan Khofifah pada rapat Paripurna
DPRD Jatim, Senin (18/2/2019).
Gubernur berbagi tugas dengan Wakil Gubernur Emil Elistianto Dardak.
Visi misi itu dijabarkan menjadi Nawa Bhakti Satya yang sudah dilakukan pembicaraan dan koordinasi draf pelaksanaan teknokratif Pemprov dengan menggunakan istilah CETAR (Cepat, Efisien, Transparan, Taggap, dan Responsif).
Koordinasi fokus sesuai rencana percepatan pembangunan yang sudah disepakati Khofifah dengan Emil, juga dilakukan bertahap.
Misalnya, visi misi adil dan sejahtera difokuskan pada keadilan akses koneksitas wilayah selatan, pesisir dan kepulauan.
Emil sebagai wagub, salah satu tugas utama adalah melakukan percepatan pembangunan di wilayah Jatim bagian selatan.
Kemudian pendekatan pembangunan Jatim ke depan, akan berbasis kewilayahan. Seperti rumpun kawasan Arek, Madura, Pantura, Mataraman dan Tapal Kuda yang memiliki karakteristik sendiri-sendiri, sehingga keadilan akses dan layanan di masing-masing wilayah bisa terpenuhi.
Karena itu tugas dan kewenangan Baperwil (Bakorwil) akan diperkuat untuk membantu dan memperkuat layanan industri kecil menengah (IKM) dan usaha mikro kecill menengah (UMKM) yang butuh izin ke POM bisa lebih cepat dan terukur sehingga tidak harus ke Surabaya tapi bisa dilayani di Baperwil,.
Wagub Emil akan mengkoordinasikan program Millenial Job Center, sehingga Baperwil akan menjadi centra dari identifikasi dari Millenial Job Center.
Emil langsung turun ke Baperwil Bojonegoro dan Khofifah ke Baperwil Pamekasan.
Khofifah juga menyampaikan, rapat koordinasi di daerah akan berkantor di Baperwil dan ini sudah koordinasikan dengan Sekdaprov Jatim, supaya Baperwil itu menjadi ruh dari perwakilan Pemprov di area-area yang memiliki keserumpunan.
Ia mencontohkan, di Baperwil Pamekasan akan menyampaikan berapa sebetulnya Bos Madin di Madura, lalu dirinci lagi di Sampang, Pamekasan, Bangkalan maupun Sumenep.
Sedangkan Emil juga menanyakan hal serupa di Baperwil Bojonegoro ditambah persoalan GTT/PTT.
(*)Penulis: A Adib Hambali, Pimred Detakpos.