KUHP: ‘Kumpul Kebo’ Penjara !

Oleh: A Adib Hambali *

KOHABITASI atau “kumpul kebo” adalah hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Istilah itu umumnya digunakan saat dua orang belum menikah hidup bersama dan terlibat dalam hubungan romantis atau intim. Mereka biasanya melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dalam jangka panjang atau permanen. (Wikipedia).

Istilah itu sempat marak menyusul
Pembahasan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP).Kini telah disahkan oleh Pemerintah dengan DPR menjadi UU KUHP. (6/12/2022)

Di tengah polemik saat itu ada pengusung paham liberalisme dengan atas nama hak asasi manusia (HAM) menyelinap mencoba mengganjal rencana pengesahan UU KUHP. Yang dipersoalkan adalah pasal perzinaan dan kumpul kebo atau consensual sex di Pasal 415, 416: Zina, Kumpul Kebo.

Setidaknya pemikiran itu terwakili oleh cendekiawan dan peneliti politik Denny JA yang mempermasalahkan. Dia menyatakan tidak setuju pasal pasal tersebut masuk dalam KUHP dan meminta untuk direvisi.

Denny saat itu menberi warning pada elite politik. Sejarah dunia akan mencatat respons Presiden Jokowi, Megawati (Ketum PDIP), Airlanggga Hartarto (Ketum Golkar), Prabowo (Ketum Gerindra), SBY/AHY (Pimpinan Demokrat), Surya Paloh (Ketum Nasdem) dan ketum partai lain soal apakah mereka melindungi warga negara secara setara.

Apakah mereka melawan, atau malah menyetujui atau paling sedikit membiarkan, sehingga warga yang percaya paham hak asasi manusia di Indonesia (soal Rights To Privacy, consensual sex) dipenjara melalui KUHP Pasal 415, 416.

Dalih Denny JA, kita di Indonesia sudah terbiasa dengan paham “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Berbagai paham yang berbeda bahkan bertentangan soal agama dapat hidup berdampingan. Beda paham agama tidak dipenjara.

Kita sudah rileks saja jika ada warga negara menyembah Tuhan pergi ke Mesjid dan menghadap kiblat. Atau pergi ke gereja sama sekali tak menghadap kiblat. Atau sama sekali tak ke mesjid, tak ke gereja, tapi hanya bermeditasi saja.

Tuhan adalah hal yang paling penting bagi mayoritas publik Indonesia. Toh, mereka yang berbeda untuk hal yang teramat penting tidak masuk penjara. Begitulah Denny beralasan.

“Lalu mengapa yang percaya pada hak asasi manusia, soal consensual sex, malah dipenjara jika RKUHP resmi menjadi KUHP,”tulis Denny dalam catatan yang dikirim ke WAG.

Yang percaya hubungan seksual di luar pernikahan itu berdosa, walau suka sama suka, silahkan saja. Paham seksual ini dihormati. Silahkan hidup dan boleh juga mendakwahkannya.

Tapi warga negara yang percaya HAM, yang resmi diakui PBB, dan Indonesia menjadi anggota PBB, bahwa hubungan seksual sesama orang dewasa, sejauh suka sama suka, itu hal yang boleh- boleh saja, mengapa mereka yang meyakini paham ini dipenjara? Mengapa mereka dikriminalisasi?

Bagaimana jika selingkuh, suka sama suka tapi dengan suami atau istri orang lain? Itu masalah moral dan selesaikan dengan hukum perdata. Tapi itu bukan wilayah tindakan kriminal!

Lebih keras Denny mengganggap ini tak hanya cacat konsep tapi sebuah skandal? Di era abad 21, di Indonesia; warga yang percaya HAM, paham modern untuk soal consensual sex, malah dipenjara! Tapi yang percaya aneka keyakinan dari ribuan tahun lalu boleh- boleh saja.

Ini prinsip negara modern. Yang bisa dikriminalkan hanya yang universal diyakini semua penduduk dunia sebagai kejahatan seperti: pembunuhan, pencurian, penipuan.

“Paham hubungan seksual antar orang dewasa, sejauh suka sama suka, walau tak terikat pernikahan, itu bagian dari hak asasi manusia. Prinsip ini juga tak bisa dikriminalkan,”catat Denny JA.

Keberadaan pasal-pasal di UU KUHP yang banyak disoroti publik seperti pasal pidana ‘kumpul kebo’, sebetulnya telah melalui kajian berulang secara mendalam antara pemerintah dan DPR dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.

Karena itu, penentangan dari pihak asing, khususnya di pasal ‘kumpul kebo’, tidak perlu dikhawatirkan. Karena keberadaan pasal tersebut telah sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, serta sesuai dengan kultur budaya dan ajaran dari berbagai agama yang dipeluk bangsa Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung aturan pidana terkait perbuatan perzinaan dan kumpul kebo dalam KUHP. MUI menekankan kebebasan tidak boleh melanggar rambu-rambu dan hukum.

Terkait hubungan badan merupakan hak setiap orang, lalu kemudian diatur oleh negara. Meski itu merupakan hak tapi pada dasarnya manusia bermartabat dan harus tunduk pada konsensus negara.

Bahkan dalam konsensus negara Indonesia, hubungan badan harus melalui pernikahan terlebih dulu. Hal tersebut juga sudah diatur dalam undang-undang.(revisi*)

*) Redaktur senior detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *