Menjadikan Sistem Ketatanegaraan Adaptif dengan Perubahan

 

 

Oleh: Bambang Soesatyo *

Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)

PERUBAHAN zaman yang nyata-nyata menghadirkan ragam tantangan baru hendaknya menjadi faktor pengingat bagi semua elemen bangsa untuk tidak lengah pada urgensi penguatan aspek ketatanegaraan yang adaptif.  Sistem ketatanegaraan yang adaptif dengan perubahan zaman harus berfokus pada semangat memperkokoh pondasi NKRI, melestarikan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan sumber hukum, serta terjaganya ketahanan nasional.

Ragam tantangan baru bagi banyak negara-bangsa selalu muncul dari perubahan tatanan dunia. Pasca perang dunia kedua, ketika komunitas internasional mulai menelaah untung rugi perdagangan bebas, salah satu tema yang dikedepankan dan dikalkulasikan adalah besar-kecilnya risiko bagi negara-bangsa ketika dunia tidak lagi terkotak-kotak oleh batas negara.

Demi kelancaran lalu lintas barang dan jasa, terbentuklah blok-blok perdagangan sehingga dunia nyaris tidak lagi menerapkan sekat pembatas yang kaku (borderless world) atau globalisasi. Tantangan atau masalah bagi sektor bisnis dan komunitas pelaku usaha, termasuk UMKM, adalah  membuat ragam produk yang kompetitif dengan biaya produksi yang efisien agar bisa dijual di banyak negara.

Tatanan dunia kemudian terus berubah berkat keberhasilan para pakar mewujudkan jaringan internet (Interconnected Network) pada dasawarsa 80-an, yang pemanfaatannya oleh publik di berbagai negara dimulai pada dasawarsa 90-an. Ketika fungsi internet sudah menyatu dengan aktivitas keseharian setiap orang, fungsi batas negara semakin menipis (borderless state).

Sebab, berkat jaringan internet, setiap orang bisa terhubung dan menjangkau berbagai wilayah di dunia tanpa harus meninggalkan rumah. Belum berhenti sampai di situ, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) hingga saat ini nyata-nyata telah mewujudnyatakan terbentuknya masyarakat tanpa sekat atau borderless society.

Perubahan tatanan yang berlangsung begitu cepat itu  tak pelak menghadirkan banyak manfaat bagi kehidupan umat manusia. Berkat kecepatan beradaptasi dengan semua perubahan itu, ragam manfaatnya pun sudah dialami dan dirasakan langsung oleh setiap orang pada berbagai aspek kehidupan.

Ketika masyarakat sudah beradaptasi dengan semua perubahan itu, bagaimana dengan aspek sistem ketatanegaraan Indonesia? Sudah cukup efektifkah sistem ketatanegaraan beradaptasi percepatan globalisasi yang menyebabkan semakin menipisnya fungsi batas negara (border state)? Inilah tantangan yang harus segera dijawab oleh semua elemen bangsa. Sistem ketatanegaraan harus segera dibuat adaptif dengan perubahan zaman agar  semakin memperkokoh pondasi NKRI, kuat menjaga dan merawat kelestarian  Pancasila sebagai falsafah bangsa dan sumber hukum, serta menjaga dan merawat ketahanan nasional.

Percepatan globalisasi serta reduksi atas fungsi batas negara sudah pasti menghadirkan ekses. Dan, suka tak suka, harus diakui bahwa Indonesia telah dan sedang menghadapi ekses itu. Radikalisme dengan segala perilaku dan targetnya sudah merasuki sejumlah komunitas warga bangsa. Dari radikalisme itu, muncul benih perlawanan terhadap negara dengan tujuan ingin mengeliminasi Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara-bangsa, serta sebagai landasan dan sumber hukum nasional.

Bahkan, ada upaya berkelanjutan untuk mencekoki banyak komunitas dengan ajaran sesat yang diimpor, dengan tujuan  merusak dan mengeliminasi budaya serta tradisi maupun kearifan lokal. Banyak komunitas diajarkan dan didorong untuk  berperilaku intoleran. Kini, budaya guyub dan rukun yang menjadi karakter warga bangsa sejak dahulu semakin menipis.

Sistem ketatanegaraan yang belum efektif juga terbaca dari keberhasilan para penganut paham radikal menyusup ke dalam tubuh birokrasi negara dan daerah. Indikasi lain dari kelemahan sistem  ketatanegaraan sekarang adalah masuknya pelaku kejahatan kerah putih ke dalam birokrasi pusat dan daerah. Terpilihnya sejumlah figur yang inkompeten untuk memimpin daerah menjadi indikator lain yang menjelaskan masih adanya masalah dalam sistem ketatanegaraan.

Semua ekses itu tentu memunculkan pertanyaan tentang apa yang kurang dari sistem ketatanegaraan negara-bangsa ini. Akhir-akhir ini, sejumlah kalangan mulai menyuarakan aspirasi agar dilakukan kajian atas  kemurnian dan efektivitas Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen. Seperti diketahui, UUD 1945 telah diamandemen empat kali terhitung sejak 1999 hingga 2002.

Ada kalangan yang mendorong agar dilakukan amandemen terbatas untuk mengakomodir  kebutuhan negara-bangsa akan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Kalangan lainnya menyarankan agar dilakukan penyempurnaan terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil amendemen. Ada juga komunitas yang  menginginkan perubahan dan kajian menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil amendemen. Lainnya menginginkan agar kembali pada UUD Tahun 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tentu saja ada juga komunitas yang berpendapat bahwa amendemen konstitusi tidak perlu dilakukan lagi karena konstitusi yang berlaku saat ini dinilai masih memadai.

Selain itu, mengemuka pula dorongan agar  segera dimunculkan inisiatif pemulihan atau pengembalian wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat (regeling). Apalagi, hierarki perundang-undangan sudah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda).

Terakhir, dorongan ini disuarakan oleh Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, pada acara  peluncuran 58 judul buku bertepatan dengan hari jadi ke-58 Lemhannas  di Jakarta, pekan ketiga Mei 2023. Megawati berharap Indonesia memiliki kembali sistem ketatanegaraan yang benar, sebagaimana para pendiri bangsa telah meletakannya dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pasca Indonesia merdeka.

Faktanya, UUD 1945 hasil amandemen yang menjadi landasan sistem ketatanegaraan Indonesia kini sedang dan terus  berhadapan dengan perubahan zaman plus segala tantangannya. Agar ‘hidup’ dan ‘bekerja’, konstitusi tidak bisa dan tidak boleh menolak perubahan. Sebaliknya, konsitusi justru harus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Semua orang pun diingatkan bahwa roda perubahan akan terus berputar. Beberapa proses inovasi yang sedang berlangsung saat ini hendaknya juga disimak orang muda Indonesia untuk memahami arah perubahan di masa depan. Misalnya, uji coba klinis oleh Neuralink menanamkan chip buatannya di otak manusia. Neuralink, startup neurotech yang didirikan Elon Musk, sudah mendapatkan izin dari otoritas di Amerika Serikat (AS), yakni Food and Drugs Administration (FDA).

Izin FDA diterbitkan setelah Neuralink mencatat progres dalam mengembangkan implan otak untuk membantu pengguna lumpuh mengontrol teknologi eksternal dengan sinyal dari otak. Ini menjadi benih perubahan masa depan yang mungkin dirasakan cukup ekstrim.

Pertanyaan yang sangat relevan adalah sudah efektifkah sistem ketatanegaraan saat ini beradaptasi dengan percepatan globalisasi yang menyebabkan semakin menipisnya fungsi batas negara?  Menjadi harga mati bahwa sistem ketatanegaraan di era apa pun harus mampu merawat dan memperkokoh pondasi NKRI, menjaga eksistensi Pancasila sebagai falsafah bangsa dan sumber hukum, serta menjaga dan merawat ketahanan nasional.

Karena itulah sudah waktunya segenap elemen bangsa melakukan kajian mendalam atas konstitusi yang dijalankan hari ini.

Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *