Oleh A Adib Hambali
MENARIK untuk dicermati bahwa Pilpres 2024 disebut sebut sebagai “pertarungan” antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Joko Widod, tentu saja dengan Surya Paloh, ketua Umum Nasdem pengusung Anies Baswedan -Muhaimin Iskandar.
Yang bertarung dalam pemilu presiden tidak hanya pasangan capres dan cawapres. Yang berlaga tidak hanya Prabowo dan Gibran melawan Ganjar dan Mahfud melawan Anies dan Muhaimin.
Tapi bertarung pula para kingmkrer di balik pasangan itu. Berlaga juga para patron di balik Ganjar-Mahfud hadir Megawati. Di belakang Anies dan Muhaimin berdiri Surya Paloh. Tapi siapakah di balk Prabowo dan Gibran, LSI Denny JA,menyebut publik mempersepsikan hadir di sana Jokowi.
Maka dalam pemilu presiden kali ini, LSI Denny JA pun melihat pertarungan antara “Jokowi melawan Megawati melawan Surya Paloh.
Lalu seberapa besarkah efek elektiden oral mereka kepada pasang calon presiden, LSI DennyJAa menyusun parameternya. Ada empat indikator yang di hitung relevan dengan opini publik.
Indikator pertama: tingkat pengenalan. Seberapa luas tokoh itu dikenal publik? Megawati dikenal oleh 95% populasi Indonesia. Itu sudah sangat tinggi.
Jokowi dikenalnya oleh 98% populasi, sedikit di atas Megawati. Dan Surya Paloh dikenalnya oleh 58% populasi.
Dari tingkat pengenalan, Jokowi dan Megawati berada di level yang sama. Mereka berdua dikenal jauh di atas Surya Paloh.
Kedua: tingkat kesukaan. Jika hanya dikenal tapi tidak disukai, efek seorang tokoh belum tentu positif. Tingkat kesukaan publik kepada Megawati itu 59% dari populasi yang mengenalnya.
Sedangkan Jokowi disukai oleh 82%, jauh lebih tinggi, dari yang mengenalnya. Lalu Surya Paloh disukai oleh 60% dari mereka yang mengenalnya.Demikian data LSI Denny JA.
Dari sisi tingkat kesukaan, Jokowi jauh lebih disukai, unggul sangat telak dibandingkan kesukaan publik kepada Megawati dan Surya Paloh.
Indikator ketiga adalah koalisi partai yang mereka kendalikan, yang memiliki kursi di parlemen. Maka Megawati mengendalikan dua partai: PDIP dan PPP.
Sedangkan Jokowi mengendalikan empat partai yang punya kursi di parlemen. Yaitu Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat.
Surya Paloh mengelola tiga partai: Nasdem, PKB dan PKS.
Dari sisi jumlah partai di parlemen yang dikendalikan, Jokowi juga lebih unggul
Keempat, LSI Denny JA juga melihat pengalaman para tokoh itu bertarung dalam Pemilu Presiden dan Pilkada. Pengalaman bertarung sebagai kandidat itu penting.
Pengalaman itu memberikan mereka wawasan menyusun strategi, ketajaman mengelola insting. Juga terasah tata cara untuk mengambil the heart and the mind of the people.
Megawati pernah ikut Pilpres dua kali, di tahuh 2004 dan 2009. Tapi dua-duanya, Megawati kalah.
Sementara Jokowi pernah menjadi kandidat di Pilkada Solo dua kali, Gubernur DKI sekali, dan Pilpres dua kali 2014 dan 2019.
Jokowi punya pengalaman bertarung lima kali, baik di perkada, ataupun pemilu presiden. Dan lima-limanya Jokowi menang.
Sementara, Surya Paloh tak pernah punya pengalaman bertarung sebagai calon pemimpin baik di Pilkada, ataupun di tingkat pemilu Presiden.
Dari empat indikator ini, LSI Denny JA melihat di tingkat pengenalan, kesukaan, jumlah partai yang dikendalikan, dan juga pengalaman bertarung, Jokowi lebih unggul dibandingkan Megawati dan Surya Paloh.
Bisa dikatakan dari parameter ini, Efek Jokowi, efek elektoralnya, lebih powerful dibandingkan Efek Megawati. Apalagi, juga lebih powerful dibandingkan Efek Surya Paloh.
Dengan sendirinya, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, yang kali ini didukung oleh Jokowi, memiliki keuntungan elektoral yang lebih tinggi.
Dengan kata lain, Jokowi lebih mampu, lebih kuat dalam membantu kemenangan pasangan yang didukuna, dibandingkan Megawati terhadap calon yang dibantu dibntu dubandingkan Surya Paloh terhadap capres dan cawapresnya.
LSI Denny JA menyimpulkan efek Jokowi lebih bergema dibandingkan efek Megawati, apalagi dibandingkan dengan efek Surya Paloh.(*)
Redaktur senior Detakpos. com