Oleh: A Adib Hambali *
“MY loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.“ (loyalitas saya berhenti kepada partai karena beralih kepada negara). Kalimat itu pernah diucapkan oleh Presiden AS; John F Kennedy (1961-1963).
Pernyataan itu mungkin layak diangkat kembali menyusul temuan survei opini publik yang dirilis Kompas, 24 Mei 2023. Itu hampir sama dengan hasil yang sudah lebih dahulu dirilis oleh LSI Denny JA, 19 Mei 2023 dengan hasil Prabowo Subianto di posisi pertama mengungguli Ganjar.Pranowo menempati nomor dua.
Kompas memberi alasan dukungan Ganjar menurun. Itu karena “blunder” komentar yang dihubungkan oleh netizen ikut menyebabkan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah sepakbola Piala Dunia U-20.
Batalnya Indonesia sebagai tuan rumah memang bukan keputusan Ganjar, tapi dari FIFA. Namun pernyataan Ganjar ikut menolak keikutsertaan Timnas Israel sebagai peserta Piala Dunia U-20, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab batalnya Indonesia sebagai tuan rumah.
Di berbagai media sosial, Ganjar dikritik bahkan di-bully. Di antara tiga capres itu, Ganjar tokoh pertama yang mengalami hantaman keras, kadang dengan kata yang pedas di media sosial akibat sikap politiknya untuk dunia sepakbola.
Survei LSI Denny JA menunjukan bahwa 72% publik menyatakan kecewa gagalnya Indonesia sebagai tuan rumah. Dari mereka yang menyatakan kecewa, Ganjar Pranowo dianggap sebagai orang yang paling disalahkan atas gagalnya Indonesia sebagai tuan rumah.
Mayoritas publik Indonesia yang merupakan penggemar bola juga mendukung kemerdekaan Palestina. Tapi mengorbankan kepentingan nasional Indonesia menjadi tuan rumah Sepak Bola Dunia U-20 dengan tak mau menerima tim Israel bermain di sini, sementara Dubes Palestina di Indonesia saja bisa memahami, itu dianggap oleh mayoritas yang marah sebagai nasionalisme yang lebai (berlebihan).
Selain itu LSI Denny JA juga mengeksplor penyebab tambahan yaitu soal Ganjar gagal untuk isu kemiskinan di Jawa Tengah. Selama dua periode menjadi gubenur, prosentase penduduk miskin di Jawa Tengah lebih banyak dibandingkan rata- rata di Indonesia (Data 2022).
Satu sebab lain adalah label Ganjar selaku petugas partai. Warta Ekonomi (24 April 2023) mempublikasi tweet Ariel Heryanto. Akademisi Indonesia yang pernah mengajar di banyak negara menulis.
melalui akun twitter @ariel_heryanto. “Remember, who is the boss (Ingat, siapa bosnya),” tulis Ariel.
Guru Besar di Monash University itu menambahkan, “Apa yang dapat diharapkan dari calon presiden yang populer di ruang publik, tapi tidak paling berkuasa di lingkungan elite negara?
Salahkah menyatakan Capres itu, lalu menjadi Presiden, sebagai petugas partai?
Jawaban dia singkat: sedikit benarnya, tapi banyak salahnya.
Sedikit benar karena capres memang diajukan oleh partai atau koalisi partai. Aturannya memang seperti itu. Tapi tak berarti presiden itu petugas partai.
Pernyataan ini salah karena kata “petugas” juga menyiratkan sang capres, yang kemudian menjadi presiden, seolah ia bawahan dari partai. Pastilah pemberi tugas (partai) memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan ia yang ditugaskan (capres, presiden).
Padahal partai politik tidak boleh posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan Lembaga Presiden, dan presidennya. Tidak ada dalam konstitusi, tidak ada dalam tradisi politik yang sehat bahwa presiden harus bertanggung jawab kepada partai.
Dalam menjalankan pemerintahan,dan mengambil keputusan sehari- hari, seorang presiden tidak harus direstui dulu oleh ketua umum partainya.
Membuat presiden itu petugas partai, itu dapat dianggap mereduksi atau merendahkan lembaga presiden.
Itulah sebabnya PDIP ketika menyatakan Capres Ganjar petugas partai, bahkan sebelumnya Presiden Jokowi sebagi petugas partai, itu menjadi olok- olok di ruang publik.
Pilpres masih beberaoa bulan lagi. Banyak hal masih mungkin berubah. Jika publik semakin tersadar Indonesia kini memerlukan pemimpin yang kuat, dan kesadaran itu meluas, capres yang menjadi petugas partai akan semakin tidak populer.(*)
Redaktur senior Detakposcom.