Jakarta–Detakpos-Kegiatan Pramuka dengan agenda susur Sungai Sempor yang dilakukan siswa SMP Negeri 1 Turi pada Jumat (21/2), memakan korban jiwa. Data hingga Sabtu (22/2), delapan orang siswa meninggal dan dua lainnya masih dalam pencarian akibat terbawa arus Sungai Sempor.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menyatakan, dalam situasi musim hujan, sebanyak 250 siswa salah satu SMP Negeri di Sleman diinstruksikan melakukan kegiatan susur sungai Sempor Dusun Dukuh, Desa Donoharjo, Kecamatan Turi, Selaman dalam rangka kegiatan kepramukaan.
Saat awal kegiatan, arus sungai masih landai. Namun, satu jam kemudian, debit arus sungai meningkat dan mengakibatkan sejumlah siswa hanyut terbawa arus. Update terakhir dari Tim SAR, ada 8 pelajar yang ditemukan tewas.
Berkaitan dengan kejadian tersebut, maka KPAI menyatakan menyampaikan duka mendalam bagi para korban dan keluarganya atas tragedi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kekuatan dan kesabaran bagi keluarga korban dalam menghadapi ujian ini.
KPAI menyayangkan pihak sekolah yang diduga ceroboh, karena tidak menghitung secara masak faktor risiko menyelenggarakan kegiatan susur sungai di saat musim penghujan dengan kondisi cuaca ekstrem, bahkan diduga kuat mengabaikan peringatan BMKG.
“Seharusnya, karena anak-anak yang akan mengikuti keguiatan kepramukaan susur sungai berada di alam yang memiliki kondisi yang sering tak terduga maka para guru dan pelatih harusnya memang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam memasukinya,”tutur Retno, Minggu (23/2).
Sejatinya para guru dan pelatih melakukan survei sebelumnya, termasuk mempertimbangkan kondisi cuaca, jalur evakuasi, kemudahan naik dan turun ke badan sungai, termasuk debit sungainya, apalagi ketika membawa ratusan murid yang masih usia SMP.
“Artinya perlindungan anak dan keselamatan anak-anak harus menjadi faktor utama dan pertama yang dipertimbangkan dan diperhatikan.
KPAI memandang bahwa kegiatan susur sungai bagi anak-anak usia SMP tidak tepat, apalagi di musim penghujan seperti saat ini.Karena idealnya susur sungai dilakukan oleh orang-orang dewasa, anak dan remaja tidak boleh susur sungai, Orang dewasa yang dimaksud adalah mereka yang telah memiliki keterampilan.
“Seperti TNI, Mapala, komunitas sungai, mereka-mereka yang telah terbiasa,”ungkap Retno.
Sementara dalam kasus hanyutnya siswa-siswa SMPN 1 Turi, beberapa di antara korban selamat mengaku belum pernah menyusuri sungai sebelumnya.
” Bagi anak dan remaja, susur sungai bisa dilakukan di luar (aliran) sungai, tidak jalan-jalan di dalam (aliran) sungai, sebab, kegiatan ini berisiko tinggi dan hanya diperkenankan dilakukan orang yang terlatih dan terbiasa,”tambah Retno.
KPAI mendorong Inspektorat dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman memeriksa Kepala Sekolah dan jajarannya, termasuk para pelatih Pramuka yang berkaitan langsung dengan keputusan kegiatan ini dilaksanakan. Proses pemeriksaan didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan juga UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
“Apakah kegiatan ini diputuskan melalui rapat dewan guru dengan sudah mempertimbangkan dan menghitung segala factor resiko yang akan terjadi,” papar Retno.
Banyak hal perlu diungkap, lanjut Retno, apakah ada susunan panitia dan penanggungjawab kegiatan, termasuk antara jumlah anak dengan pembimbing dan pelatih proporsional.
Juga apakah survei dilakukan minimal sepekan sebelum kegiatan untuk menghitung factor resiko, juga ada antisipasi sekolah dengan menyiapkan perahu karet, ambulan, pelampung.
Termasuk apakah ada SOP jika tiba-tiba cuaca buruk apa yang harus dilakukan, dst?
(6) apakah sekolah memberitahu atau mengurus izin atau rekomendasi dari Dinas Pendidikan kab. Sleman terkait kegiatan ini
KPAI juga mendorong kepolisian menyelidiki kasus ini, jika terbukti ada kelalaian pihak sekolah, maka proses hukum harus dilakukan, karena ada 8 anak yang telah kehilangan nyawa dalam kegiatan ini, dan 2 anak belum ditemukan.
KPAI mendorong Pemerintah Daerah melalui P2TP2A dan Dinas PPPA untuk melakukan pemulihan psikologi melalui psikososial terhadap anak-anak yang selamat dan mengalami shock dan masalah psikologis akibat peristiwa ini.
Menurur Retno, momentum kasus ini, KPAI mendorong Kemendikbud melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang menjadi Pramuka sebagai ekskul yang wajib diambil setiap anak, bahkan mempengaruhi kenaikan kelas. Hal tersebut tertuang dalam Permendikbud No. 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakurikuler Wajib mulai jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK.
“Persoalannya, selama ini kebijakan mewajibkan siswa sekolah untuk mengikuti pendidikan kepramukaan telah menjadikan latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan. Kebijakan yang awalnya berniat baik untuk membentuk kompetensi sosial peserta didik, malah merusak esensi pendidikan kepramukaan itu sendiri. Masifnya pendidikan kepramukaan menyebabkan hal-hal yang esensial menjadi terlupakan.”(d/2).
Editor : A Adib