KPAI: PJJ Kembali Picu Depresi, Siswa SMP di Tarakan Bunuh Diri

JakartaDetakpos.com.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya seorang siswa di salah satu SMP di Tarakan. Ananda ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi tempat tinggalnya.

Tewasnya siswa yang berusia 15 tahun tersebut mengejutkan semua pihak, apalagi pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk yang belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru, padahal syarat mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas tersebut.

Kasus bunuh diri bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Melainkan adanya akumulasi dan rentetan panjang yang dialaminya dan dia tidak kuat menanggungnya sendirian.

Sebenarnya, kondisi pembelajaran jarak jauh (PJJ) sudah berlangsung lama. Artinya, sudah banyak yang mulai bisa beradaptasi. Namun, ada juga yang justru makin terbebani. Salah satunya adalah siswa SMP di di Tarakan, Kalimantan Utara.

Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti sudah mendengarkan langsung penjelasan rinci dari ibu korban dalam suatu dialog interaktif di salah satu TV Nasional pada 29 oktober 2020 pukul 6.45 hingga 07.30 WIB.

Ibu korban menjelaskan bahwa ananda memang pendiam dan memiliki masalah dengan pembelajaran daring. Anak korban lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka, karena PJJ daring tidak disertai penjelasan guru, hanya memberi tuga-tugas saja yang berat dan sulit dikerjakan.

Ibu korban menjelaskan bahwa saat PJJ fase pertama, kesulitan PJJ masih bisa diatasi karena materi pembelajaran sudah sempat diterima para siswa selama 9 bulan dan saat PJJ sudah menjelang ujian akhir tahun. Namun ketika PJJ fase kedua pada tahun ajaran baru (Juli, 2020), saat naik ke kelas IX, semua materi baru dan penjelasan materi dari guru sangat minim, sehingga banyak soal dan penugasan yang sulit dikerjakan atau diselesaikan para siswa. Akhirnya tugasnya menumpuk hingga menjelang ujian akhir semester ganjil pada November 2020 nanti.

Pada 26 Oktober 2020, ibu korban mengaku menerima surat dari pihak sekolah yang isinya menyampaikan bahwa anak korban memiliki sejumlah tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Rata-rata jumlah tagihan tugas yang belum dikerjakan anak korban adalah 3-5 tugas per mata pelajaran.

“Jadi bisa dibayangkan beratnya tugas yang harus diselesaikan Ananda dalam waktu dekat, kalau rata-rata 3 mata pelajaran saja, ada 33 tugas yang menumpuk selama semester ganjil ini,”ungkap Retno, Jumat (30/10/2020).

Menurut orangtua korban, anaknya belum menyelesaikan tugas bukan karena malas, tetapi karena memang tidak paham sehingga tidak bisa mengerjakan, sementara orangtua juga tidak bisa membantu Ananda. Ibu korban sempat berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait beratnya penugasan sehingga anaknya mengalami kesulitan, namun pihak sekolah hanya bisa memberikan keringanan waktu pengumpulan, tapi tidak mmbantu kesulitan belajar yang dialami Ananda.

Persoalan lain, peranan orang tua ikut membuat siswa banyak tertekan karena mereka memang tidak memiliki kemampuan ikut membimbing atau mengajar. “Saya tidak bisa menyelesaikan karena memang saya tidak bisa mengerjakannya, enggak paham materinya,” kata ibu saat meminta anaknya mengerjakan, sementara orangtua korban juga tidak memiliki kapasitas membantu anaknya mengerjakan tugas-tugas tersebut.

Orangtua korban menduga kuat kalau surat dari sekolah yang diterima sehari sebelum korban memutuskan mengakhiri hidupnya adalah merupakan pemicu. Pasalnya dalam surat tersebut ada “tekanan” jika tugas-tugas tersebut tidak dikumpulkan ke gurunya, maka anak korban tidak bisa mengikuti ujian semester ganjil nantinya. Anak korban yang sudah duduk di kelas akhir (kelas 9) kemungkinan ketakutan tidak mampu mengerjakan tugas, akhirnya tidak ikut ujian semester dan nanti bisa tidak lulus SMP.

Menurur Retno, barangkali tujuan pihak sekolah hanya sekedar mengingatkan dan memberikan dorongan agar para siswanya mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugasnya yang tertumpuk. Namun, bagi remaja yang mengalami masalah mentall, kecemasan, stress atau malah depresi selama masa pandemic karena ketidakmampuan mengerjakan tugas-tugas PJJ, memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan pikiran tentang bunuh diri.

Rekomendasi

Kasus Siswa SMP (15 tahun) di Tarakan yang bunuh diri pada 27 Oktober 2020 karena PJJ bukan kasus pertama. Sebelumnya, di bulan yang sama, siswi (17 tahun) di Kabupaten Gowa juga bunuh diri karena depresi menghadapi tugas-tugas sekolah yang menumpuk selama PJJ fase kedua.

Juga pada September 2020, seorang siswa SD (8 tahun) mengalami penganiayaan dari orangtuanya sendiri karena sulit diajari PJJ. Ada tiga nyawa anak yang menjadi korban karena beratnya PJJ selama pandemic.

Oleh karena itu, KPAI mendorong Kemdikbud RI, Kementerian Agama RI, Dinas-dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada fase kedua yang sudah berjalan selama empat bulan. Tidak ada kasus bunuh diri siswa, bukan berarti sekolah atau daerah lain, PJJ-nya baik-baik saja, bisa jadi kasus yang mecuat ke public merupakan gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis anak, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak;

KPAI akan bersurat pada pihak-pihak terkait untuk pencegahan dan penanganan peserta didik yang mengalami masalah mental dalam menghadapi PJJ di masa pandemic, mengingat PJJ secara daring berpotensi membuat anak kelelahan, ketakutan, cemas, dan stress menghadapi penugasan yang berat selama PJJ.

Para guru Bimbingan Konseling (BK) dapat diberdayakan selama PJJ di masa pandemic, sehingga masalah gangguan psikologis pada para siswa dapat diatasi segera untuk mencegah peserta didik depresi hingga bunuh diri. Walikelas dan guru kelas seharusnya dibantu dan dilatih untuk mampu memetakan dan mendeteksi siswa yang dapat mengikuti PJJ daring dan yang tidak.

“Untuk siswa yang mengalami kesulitan mengikuti PJJ, maka pihak sekolah harus berkoordinasi dengan orangtuanya dan bersinergi membantu kesulitan anaknya,” lanjutnya.

KPAI mendorong Kemdikbud mensosialisasikan secara massif Surat Edaran Sesjen Kemdikbud No. 15 tahun 2020 tentang tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Dalam surat edaran tersebut, dinyatakan bahwa tujuan pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR) adalah memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat Covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk Covid-19, mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua. Banyak sekolah dan daerah belum memahami panduan PJJ dalam SE Sesjen Kemdikbud ini;

Kemudian KPAI juga mendorong Pemerintah Daerah Tarakan melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta P2TP2A Tarakan untuk memberikan layanan rehabilitasi psikologi pada ibu korban maupun saudara kandung korban jika dibutuhkan keluarga korban, tentu harus diawali dengan asesmen psikologi oleh psikolog dari Dinas PPPA Kota Tarakan (d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *