Purwokerto – Detakpos– Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute Khatibul Umam Wiranu, Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute mengingatkan pemerintah agar memulihkan kehormatan Ibrahim Datuk Tan Malaka sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
“Sebagai tokoh yang berjasa besar atas berdirinya Republik Indonesia sudah selayaknya Tan Malaka di tempatkan di tempat yang terhormat,” uhar anggota Komisi VIII DPR dalam diskusi ” Napak Tilas Tan Malaka di Warung Kopi Kedai Purwokerto, Sabtu malam (4/2).
Di samping Khatibul Umam, diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Cabang Purwokerto itu juga menghadirkan Dr Luthfi Makhasin, pengajar politik di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan Ben Ibratama Tanur, pemerhati Sejarah Tan Malaka.
Menurut Umam, Tan Malaka adalah tokoh yang menggagas bentuk Republik Indonesia, 20 tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
“Lewat buku Naar De Republiek Indonesia yang ditulis Tan di Kanton Cina, April 1925, Tan Malaka telah mencita-citakan berdirinya sebuah Republik bernama Indonesia. Karena itulah, Mister Muhammad Yamin seorang sejarawan Indonesia memberi Tan Malaka gelar Bapak Republik Indonesia,” kata politisi Partai Demokrat ini.
Sebagai legislator yang juga mitra dari Kementerian Sosial RI, Umam telah menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa.
“Bu Menteri sedang menunggu hasil DNA Tan Malaka yang diyakini meninggal dan dimakamkan di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur,” kata tokoh muda Nahdlatul Ulama ini.
Menurut Umam, Tan Malaka telah memberikan kontribusi besar terhadap berdirinya Indonesia. Puluhan karya Tan Malaka, seperti Massa Aksi, Naar De Republiek Indonesia, Gerpolek dan Madilog, telah menjadi inspirasi bagi pejuang kemerdekaan Indonesia di masa lalu.
“Terlepas dari pandangan politik Tan Malaka waktu itu, tokoh ini layak diberi kehormatan dan dimakamkan secara layak dengan upacara kenegaraan. Hal ini sudah saya sampaikan langsung ke Menteri Sosial” katanya.
Umam mengatakan, Presiden RI pertama Soekarno saja menghormati Tan Malaka dengan meanugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia. “Keppresnya ada kok. Nomor 53 tahun 1963. Yang tanda tangan Presiden Soekarno. Dan Keppres tidak pernah dicabut, ” papar dia.
Sementara itu, Doktor Lutfhi menyoroti sikap politik Tan Malaka yang tidak pernah mau membungkuk kepada asing. “Di Purwokerto ini Januari 1946 Tan Malaka dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman mendirikan Persatuan Perjuangan dengan Minimum Program untuk melawan politik kompromi pemerintah waktu itu,” katanya.
Menurut Lutfhi sangat layak Tan Malaka ditempatkan di tempat yang terhormat di negeri ini ” Beliau adalah salah satu pendiri bangsa,” kata Lutfhi yang menyelesaikan doktornya di salah satu universitas ternama di Australia.
Lutfhi menambahkan, gagasan Tan Malaka juga brilian dan buku-bukunya masih sangat relevan hari ini.
“Catatan terpenting dari saya Tan Malaka itu adalah seorang yang berjuang dengan panji PAN Islamisme dan ditentang oleh komunis Internasional. Tan Malaka itu musuh PKI, jadi aneh kalau ada yang bilang beliau PKI,” kata Lutfhi.
Sementara itu, Ben Ibratama Tanur mengajak publik mempelajari sosok dan pemikiran politik Tan Malaka. “Harusnya profil dan pemikiran Tan Malaka masuk dalam kurikulum pendidikan Nasional,” kata mantan Ketua DPP Partai Murba ini.
Ben Tanur membagi perjalanan politik Tan Malaka dalam beberapa episode. Masa kecil dan masa remaja di Suliki dan Bukittinggi. “Tan Malaka dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat. Beliau belajar agama di Surau (mushala),” kata pria asal Minangkabau ini.
Periode remaja Tan Malaka dihabiskan di Bukittinggi saat di Sekolah Raja. “Selanjutnya Ibrahim karya kecerdasanya luar biasa, disekolahkan guru Belanda-nya (Horensma) ke Negeri Belanda.”
Pada tahun 1918 – satu tahun setelah Revolusi Bolshevik pecah di Rusia – Tan Malaka pulang ke Indonesia dan jadi guru di Perkebunan Sanembah My Deli.
”Di sinilah Tan Malaka marah terhadap kejamnya kolonialisme dan dia berontak atas penderitaan bumi putera. Tan keluar dari kehidupan dengan gaji Eropa dan turun ke Jawa untuk mendirikan Sekolah Syarikat Islam yang dikenal dengan Sekolah Tan Malaka” Ben Tanur menjelaskan.
“Tan Malaka itu seorang guru. Makanya dia berjuang untuk mencerdaskan bumi putera Indonesia lewat sekolah-sekolah yang ia dirikan” kata Ben Tanur.
Namun rupanya upaya Tan Malaka ini menjadi ancaman bagi kelangsungan kolonialisme Belanda di Indonesia, makanya Tan Malaka ditangkap dan kemudian dibuang ke Negeri Belanda.
Diskusi Publik yang digelar Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Cabang Purwokerto ini dihadiri hammpir 100 aktivis, pelajar, mahasiswa dan tokoh pergerakan di Purwokerto dan sekitarnya.(tim Detakpos)