Ada Upaya Penyingkiran NU Pasca-Pilpres 2019

JakartaDetakpos-Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir menyatakan, masyarakat membincangkan faktor NU pada Pilpres 2019.

Dalam membincangkan faktor jNU ini, sekelompok masyarakat menganulir peran NU pada Pilpres 2019.

Demikian disampaikan Amin yang menjadi salah satu narasumber pada diskusi bertema “Faktor NU dalam Kemenangan Jokowi-KMA” di Hours Coffe and More, Jalan Boulevard Bukit Gading Raya Nomor 1, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat, kemarin.

Amin mengatakan, isu faktor NU muncul setelah pilpres 2019. Banyak pihak mengklaim pengaruh komunitasnya atas kemenangan Jokowi-KMA. Dengan demikian, situasi ini menjadi ajang kontestasi politik di lingkaran sekitar, partai koalisi, dan pendukung Jokowi.

Amin menyebut setidaknya tiga kelompok yang menyatakan pengaruh signifikan kelompoknya atas kemenangan Jokowi-KMA pada Pilpres 2019. Ada kelompok Muslim yang mengklaim paling berjasa atas kemenangan Jokowi. Kedua kelompok modernis yang jumlahnya tidak banyak. Mereka hanya berjumlah 6%.

Kelompok kedua ini bermain cantik. Pada saat Pilpres 2019, mereka tidak memiliki posisi yang jelas di media. Mereka memiliki artikulasi politik yang “bagus”, tetapi merasa paling berjasa.

Kelompok kedua ini menganulir peran NU dan KMA dalam kemenangan Jokowi-KMA dengan ukuran perbandingan perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Ketiga, kelompok Muslim abangan. Mereka merasa menang di Jawa tengah dan Mataraman Jawa timur karena daerah itu merupakan kantong-kantong muslim abangan.

“Saya kira di sini masalahnya. Kita enggan menyebut abangan. Mereka tidak ada angkanya. Kalau NU dan Muhammadiyah jelas, ada angkanya,” kata Amin.

Menurut Amin, cara melihat pengaruh NU dalam pilpres 2019 dapat diawali dari cara pandang NU sebagai Jawa dan daerah yang terkoneksi dengan Jawa.

Dengan demikian, kemenangan Jokowi-KMA berkorelasi dengan organisasi NU yang Jawa. Daerah Bandung, Cianjur, Bogor, untuk menyebut beberapa daerah di Sunda, yang tidak terkoneksi dengan Jawa mesti perolehan jokowi dipastikan rendah.

Peneliti Indikator
Burhanuddin Muhtadi menyebutkan, ada tiga komponen yang menjadi penentu kemenangan Jokowi-KMA pada Pilpres 2019.

Ketiga penentu utama tersebut adalah Islam-NU, Jawa, dan Non-Muslim. Menurutnya, penduduk muslim di Indonesia sebanyak 87,2% atau sekitar 207,2 juta.

Dari total populasi muslim terserbut, berdasarkan exit poll yang dilakukan, sebayak 51% muslim Indonesia memilih Prabowo, dan 49% memilih Jokowi.
Dari total pemeluk Islam, jika data tersebut dipecah berdasarkan organisasi Islam, ditemukan bahwa terdapat 52,8% mengidentifikasi dirinya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, dan 6,1% berafiliasi dengan Muhammadiyah, 1,3% berafiliasi dengan persis, dan 26,6% mengidentifikasi dirinya bukan bagian dari ormas tersebut.
Burhanuddin juga memaparkan bahwa di kedua organisasi Islam terbesar (NU dan Muhammadiyah) suaranya tidak bulat kepada salah satu calon. Kecenderungan umum dari dua ormas tersebut saling bertolak belakang. Warga NU banyak memberikan suaranya kepada Jokowi-KH. Ma’ruf Amin, sementara warga Muhammadiyah banyak memilih Prabowo-Sandiaga Uno.

Menurutnya, terdapat sekitar 56% warga NU yang memilih Jokowi- KH. Ma’ruf Amin dan 44% memilih Prabowo-Sandiaga Uno. Sementara itu, di tubuh Muhammadiyah terdapat sekitar 36% warga Muhammadiyah yang memilih Jokowi- KH. Ma’ruf Amin, dan sebanyak 64% warga Muhammadiyah memilih Prabowo-Sandiaga Uno.

Jika dikonversi ke dalam total suara, maka suara warga NU ke Jokowi-KH. Ma’ruf Amin sebanyak 61,5 juta, sementara suara NU untuk Prabowo sebanyak 48 juta. Sementara, total sumbangan suara Muhammadiyah untuk Jokowi-KH. Ma’ruf Amin sebanyak 4,5 juta dan suara warga Muhamamdiyah untuk Prabowo sebanyak 8 juta.

Dari data tersebut terlihat bahwa variable penentu utama kemenangan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin adalah suara NU. Sementara itu, dari sisi etnis, etnis Jawa menjadi penyumbang terbesar suara Jokowi-KH. Ma’ruf Amin. Suara Jokowi pada pemilih Jawa pada tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar 11% jika dibandingkan dengan tahun 2014.

Dalam konteks inilah, dalam sepanjang sejarah Indonesia, NU adalah variable terpenting dalam politik electoral. Artinya, siapa pun yang maju untuk memenangkan pemilu tidak bisa mengabaikan factor NU. (d/2).

Editor : A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *