”Dwifungsi Polri” Cederai Semangat Reformasi

JakartaDetakpos-Presiden Joko Widodo didesak untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) mengenai pelaksana tugas atau penjabat gubernur dari kalangan non-sipil atau TNI/Polri.

Hal ini agar semangat reformasi yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga.

Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI), Mustafa Fakhri mengingatkan kembali kepada pemerintah untuk mengelola negeri ini sesuai koridor hukum berdasarkan konstitusi.

Menurutnya, jangan sampai kebijakan yang diputuskan pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat.Mustafa Fakhri mengatakan, jabatan pelaksana tugas atau penjabat gubernur mesti berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.

Untuk itu, dan kesedihan, dan”Wacana Mendagri menunjuk perwira tinggi Polri aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara tidak berdasarkan hukum, justru mencederai semangat reformasi,”ujar Mustofa Fikri di Jakarta, Sabtu (27/1).Mendagr merujuk pada Permendagri No. 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah.

Permendagri yang itu bertentangan dengan UU Pilkada. Pasal 4 ayat (2). ”Permendagri memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi,”tutur dia.

Kemudian Mendagri mengasumsikan perwira tinggi Polri merupakan jabatan setingkat pimpinan tinggi madya. ”Padahal di dalam UU Pilkada  diatur secara limitatif hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat gubernur,”tambah Mustofa.

Dikatakan, wacana itu merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama 20 tahun ini.Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

”Artinya, bila Mendagri ingin mengusulkan perwira tinggi sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian,”tutur Mustofa.

”Dengan demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan “dwifungsi” Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru,”tutur dia. Ini menunjukan pelaksana tugas atau penjabat gubernur dari unsur kepolisian secara tidak langsung menjadikan daerah tersebut nyaris serupa dengan daerah darurat sipil.

Bila mengacu kepada UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya maka diatur mengenai darurat sipil. Pasal 4 ayat (1) dan (2) dijelaskan, Presiden menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) yang terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut.

Padahal, Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara sedang dalam kondisi damai serta terkendali, tanpa potensi gangguan keamanan,”tuturnya. Oleh karena itu, PSHTN menganggap wacana Mendagri tejustru berpotensi menimbulkan suasana tidak kondusif untuk berlangsungnya pilkada di daerah yang bersangkutan.(d2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *