Jakarta–Detakpos-Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang disahkan DPR dan Pemerintah pada 17 Oktober sudah waktunya diundangkan.
Publik dan pelaksana dapat melakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review, baik secara formal maupun materiil atas pasal dan ayat yang dianggap merugikan kepentingan konstitusional.
Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi nantinya dapat digunakan oleh Pembentuk UU untuk panduan melakukan legislatif review.
“Namun jangan hanya kaki dan tangan saja yang direview, untuk memperkuat hal tersebut UU Tipikor perlu ada penguatan,”ujar Wasekjen Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Besar Marhaenis, Cahyo.
Cahyo menambahkan, berkenaan dengan isu Perppu, ia menganggap belum relevan karena faktor subyektif dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan Ihwal kegentingan memaksa telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Parameternya yaitu adanya keadaan, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Selain itu Perppu atau eksekutif review juga mempunyai batasan yang sebagaimana Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011, dalam arti Perppu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.
Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut.
Artinya Perppu justru akan memicu gesekan horisontal, antara yang pro dengan kontra dan merusak hubungan Presiden dengan DPR, yang dalam konstelasinya mayoritas pendukung pemerintah di parlemen agar program aksi periode ke II dapat menuntaskan PR sebelumnya serta terlebih lagi UU tersebut sudah disetujui oleh semua fraksi di DPR dan Pemerintah sendiri ujarnya.(d/2).