Korupsi punya seribu nyawa. Walau diberantas, ia tidak mati tapi ia hanya lebih tersembunyi dan lebih berjaringan.
Itulah kesan ketika saya membaca berita mengenai korupsi mutakir di tanah air. Dikatakan bahwa korupsi Proyek BTS puluhan miliar mengalir ke DPR hingga BPK. Juga berita soal tak hanya ke komisi I DPR, uang hasil korupsi BTS mengalir ke BPK. Hakim kaget.
Bagaimana mungkin BPK, Badan Pemeriksa Keuangan, yang memang ditugaskan untuk menjadi pengawas, namun juga bagian dari jaringan korupsi?
Benar atau tidaknya berita ini akan diuji di pengadilan. Ini memang bagian dari berita sebelumnya, yang juga kita sering dengar. Kerugoan akibat korupsi BTS Kominfo sekitar 8,32 triliun rupiah. Bahkan menterinya sendiri, menteri Kominfo, sudah menjadi tersangka.
Dua puluh lima tahun sudah reformasi. Dua puluh lima tahun sudah perjuangan untuk melawannya, sehingga menjatuhkan Orde Baru.
Tapi ternyata belum banyak kita beranjak dari sana. Data sebagai petunjuknya.
Ini data yang dikeluarkan oleh satu badan dunia, Transparancy Internasional, mengenai posisi korupsi di berbagai negara.
Sebanyak 180 negara diukur. Dimanakah posisi Indonesia? Di tahun 2022, ranking kita masih sangatlah rendah, di urutan 110.
Ini berarti posisi kita itu menengah ke bawah. Bahkan posisi kita di bawah negara Afrika, seperti Ethiopia.
Memang rangking pertama, negara yang paling bebas korupsi itu: Denmark, Finlandia dan New Zealand. Itu negara-negara Barat dan Skandinavia.
Mengapa korupsi susah sekali di matikan atau dilawan? Menurut riset di atas, korupsi berhubungan erat (korelasi tinggi) dengan regulasi yang begitu banyak. Dan regulasi itu menjadi komoditi yang diperjual belikan. Prosedur ini yang kemudian memancing korupsi.
Maka ada tiga solusi yang sering diberikan oleh banyak ahli untuk menghadang korupsi. Pertama, lakukanlah deregulasi. Buatlah rangkaian regulasi dan izin yang jauh lebih sedikit, lebih sederhana. Semakin sedikit izin itu, semakin sedikit pula “komoditi” yang bisa diperjual belikan.
Kedua, lakukan pula transparansi dalam proses keuangan dan kebijakan. Sebanyak mungkin buat proses itu serba digital.
Jika digital, maka bukan manusia lagi yang melakukan interaksi tapi mesin yang sudah dirancang, dan bisa dipantau publik.
Ketiga, perkuat pengawasan, baik pengawasan internal di lembaga itu sendiri, juga pengawasan eksternal. Misalnya KPK diperkuat kembali. Perlu pula perkuat pengawasan masyarakat.
Di era media sosial, partisipasi publik untuk mengawasi dan menyebarkan informasi lebih terbuka. Orang dalam yang menyaksikan korupsi diberikan channel untuk melaporkan dengan kerahasiaan yang membuat mereka nyaman.
Korupsi memang punya 1000 nyawa. Tapi raksasa ini tetaplah harus dilawan, sekeras mungkin, secerdas yang bisa. ***
**Transkripsi yang diedit dari video EKSPRESI DATA Denny JA