Jakarta, detakpos – Hukuman sosial dari rakyat terhadap pejabat yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi- e-KTP, Rp 2,5 triliun, diniai akan lebih menyakitkan ketimbang hukuman penjara.
Direktur Center Budget Analisys (CBA), Uchok Sky Khadafi nengatakan, hukuman dari pemerintah berupa penjara akan lebih menyangkitkan hukuman sosial dari rakyat.
“Apabila perpapasan dengan para koruptor e-KTP, tidak usah rakyat melakukan pelemparan tinja atau kotoran manusia, hanya melakukan diam, atau lihatin saja, orang tersebut sudah ketakutan, dan tidak nyaman hidupnya,” ujar Uchok dihubungi di Jakarta, (12/3).
Uchok menyarankan lebih baik, rakyat mendorong KPK untuk segera mendesak pejabat terlibat yang sekarang menduduki jabatan menteri, gubernur dan di DPR, untuk segera mundur dari jabatan mereka. “Jangan kotori jabatan dengan isu-isu e-KTP,” tambah dia.
Hal itu disampaikan Uchok menanggapi undangan yang beredar di media sosial Minggu malam mengajak masyarakat sekaligus menyebutkan bahwa pada Senin 13 Maret 2017, akan ada gerakan protes yang bersifat lain dari yang lain.
Gerakan itu ditujukan untuk mempermalukan para pelaku korupsi e-KTP. Sementara bentuknya berupa penghadangan dan pencarian terhadap para anggota DPR yang terlibat korupsi e-KTP.
Setelah ditemukan lalu dilempari tinja atau kotoran manusia kepada para pelaku korupsi tersebut. Walaupun pelemparan tinja tidak diarahkan ke arah wajah yang disasar, tetapi agenda itu cukup mengagetkan.
“Kami akan lakukan aksi pelemparan kotoran manusia kepada mereka”, tulis Nanang Arifin Nur dalam WA yang diedarkan oleh Arief Poyuono, seorang politikus yang menjabat wakil ketua umum DPP Partai Gerindra pada Sabtu (12/3), malam.
Hukuman tersebut, kata edaran tadi sebagai bentuk hukuman sosial yang berat, sebelum para wakil rakyat itu diseret ke meja hijau.
Rencananya sekelompok masyarakat yang membentuk “Gerakan Masyarakat Pelempar Kotoran Manusia Pada Pelaku Perampokan Uang Rakyat Dalam Proyek Pengadaan e-KTP Sebesar Rp 2,5 Triliun” akan menunggu di pintu masuk kantor para wakil rakyat, di mana mereka sering berkantor. Bisa juga para pemrotes mendatangi rumah kediaman para politikus Senayan tersebut.
Kendati sudah memutuskan apa yang akan dilakukan, pelopor aksi ini tetap meminta kepada Kapolri, Panglima TNI dan Presiden Joko Widodo untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pelaku aksi.
Aksi ini – kalau bisa disebut sebagai wujud dari rasa kecewa dipicu oleh sikap sejumlah figur yang disebut dalam dakwaan. Di mana rata-rata mereka menyampaikan bantahan dengan intonasi bahasa yang “ngeles”, “tidak pernah menerima, tidak melihat uangnya” dan sebagainya. (tim detakpos)