Jakarta–detakposcom-Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 42 perempuan dan 37 anak menjadi korban tragedi sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Malang. Terkait proses hukum, Rumah Perempuan dan Anak (RPA) berharap harus diusut tuntas.
Selain itu, RPA berharap Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang masih terus bekerja dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait tragedi Kanjuruhan bisa mendalami peristiwa memilukan itu dari segala aspek, mulai aspek hukum, aspek sosiologis dan perlu didalami juga ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia, hak perempuan dan juga hak anak.
Terkait hal ini, secara hukum, Ketua Bidang Advokasi PP Rumah Perempuan dan Anak, Wulansari, SH.MH mengatakan dalam penegakan hukum kasus Kanjuruhan saat ini hanya menggunakan dasar Hukum KUHP dan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun.
“Padahal, dalam mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, penting menyertakan juga Pasal 76C jo Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam alasan Hukum Penegakan Hukum terhadap pelaku tragedi Kanjuruhan,” ujarnya.
Dalam Pasal 76 C Undang-Undang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak maka akan dikenakan pasal-pasal yang bisa menjerat pelaku.
“Ancamannya sebagaimana Pasal 80 berbunyi bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan yang Pasal 76 C, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah). Hukumannya akan berbeda jika korban anak luka berat maka ancaman penjaranya maksimal lima tahun dengan denda Rp100 juta, jika meninggal maka ancaman penjaranya maksimal 15 tahun dengan denda Rp3 miliar,” imbuhnya.
Pasal-pasal ini patut dipertimbangkan ketika melakukan proses hukum tragedi Kanjuruhan. Sebab, dengan fakta adanya korban anak baik yang luka ringan, luka berat bahkan kematian menunjukan bahwa tragedi Kanjuruhan merupakan tindak pidana yang melanggar pasal 76 C jo 80 Undang-Undang Perlindungan anak. “Dasar hukum ini bisa digunakan untuk menjerat pelaku baik atas kelalaiannya maupun secara sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan anak luka-luka sampai dengan meninggal dunia,” jelas ibu dua anak ini.
RPA juga melihat hal lain yang perlu diperhatikan yakni masalah pemenuhan hak restitusi terhadap anak. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban tindak Pidana. “Untuk saat ini belum tampak adanya upaya pelaksanaan hal tersebut,” ucapnya.
Padahal, restitusi merupakan ganti rugi bagi korban yang wajib diberikan kepada anak korban tindak pidana yang penghitungan kerugiannya dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dan akan menjadi bagian pemberkasan dalam proses hukum untuk nantinya menjadi putusan pengadilan. Selain aspek penegakan hukum serta pemenuhan hak restitusi, RPA juga melihat pentingnya ada upaya respon terhadap anak yang kehilangan orang tuanya akibat tragedi Kanjuruhan ini.
Upaya strategis dan praktis untuk memastikan pemenuhan hak anak baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, pengasuhan alternatif dan hak hak lainnya pernting untuk terus diidentifikasi dan diintervensi secara cepat dan tepat.
Tragedi Kanjuruhan bisa menjadi pengalaman dan pembelajaran bagaimana pengamanan untuk penonton sepakbola perempuan dan anak pada pertandingan sepakbola ke depan. Bisa dengan membuat tempat khusus, atau cara-cara antisipasi kerawanan yang berakibat menghilangkan nyawa penonton, khususnya penonton rentan yakni perempuan dan anak.(*)
Editor: A Adib