“Kado Hitam” Jelang Peringatan Hari Kesehatan Nasional

JakartaDetakpos– Menjelang Hari Kesehatan Nasional, Indonesia mendapat kado menyedihkan dari pemerintah. Di akhir tahun ini,  muncul dua berita buruk yang membuat kesehatan publik semakin terpuruk.

Pertama, Riset Kesehatan Dasar 2018 telah diluncurkan, yang salah satu hasilnya adalah peningkatan perokok anak. Kedua, keputusan pemerintah u
tidak menaikkan cukai rokok di 2019.

Terkait dua hal di atas, sejumlah kelompok masyarakat menyatakan kecewa dan mempertanyakan keputusan pemerintah tersebut.

Hasil terkini Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukan perokok anak naik signifikan dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Target RPJMN 2014 – 2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4% pada tahun 2019 nanti bagai panggang jauh dari api.

Di tengah kondisi memprihatinkan ini, pemerintah malah tidak menaikkan cukai rokok sama sekali serta mengkhianati komitmennya untuk melakukan simplifikasi kelompok cukai tembakau sebagaimana yang sudah mereka rencanakan sendiri dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Cukai tembakau yang tinggi dan membuat harga rokok mahal adalah best practice yang umum digunakan oleh negara-negara lain di dunia untuk menekan prevalensi perokok.

WHO (2018) menyatakan kenaikan harga rokok sebesar 10% dapat menurunkan konsumsi tembakau hingga 4% di negara maju dan 5% di negara berkembang.

Namun demikian, kebijakan tidak menaikkan cukai rokok di tahun 2019 adalah bentuk ketidakberpihakan Pemerintah terhadap anak muda. Cukai rokok yang tidak naik membuat harga rokok murah, sehingga mudah dijangkau oleh anak-anak dan berdampak pada meningkatnya prevalensi perokok muda.

“Alih-alih melibatkan anak muda dalam menentukan kebijakan cukai rokoknya, pemerintah justru melibatkan industri rokok yang jelas tidak peduli pada kesehatan anak muda dan menargetkan mereka sebagai target perokok pemula. Hak anak muda untuk hidup sehat dan berpartisipasi dalam pembangunan pun terdiskriminasi, karena pemerintah lebih memilih untuk mendengarkan industri rokok dan mengesampingkan kepentingan anak muda,” ujar Margianta Surahman Juhanda Dinata, Project Coordinator for Young Health Programme at Yayasan Lentera Anak, Selasa (6/11).

Rokok sudah terbukti merupakan salah satu faktor risiko terbesar dari berbagai penyakit tidak menular, turut berkontribusi terhadap kemiskinan dan memerangkap pada pecand di dalam kemiskinan, serta menjadi beban negara dalam kaitan pembiayaan jaminan kesehatan.

Keputusan Pemerintah selama enam tahun terakhir menaikkan cukai rokok meskipun tidak signifikan cukup patut diapresiasi. Tetapi batalnya kenaikan cukai rokok di tahun 2019 akan mengakibatkan hilangnya banyak kesempatan untuk meningkatkan kualitas pembangunan di Indonesia.

Seperti yang disampaikan Anindita Sitepu, Direktur Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), “Jika saja pemerintah konsisten dengan komitmen, dan meneruskan kebijakan untuk terus menaikkan tarif cukai rokok dan menyederhanakan golongan, maka Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi prevalensi perokok, bahkan mengurangi beban ekonomi yang kini ditanggung akibat penyakit terkait rokok”.

Namun, apa yang sudah dibangun pemerintah melalui kebijakan tentang cukai hingga saat ini terancam hilang karena keputusan untuk tidak meningkatkan cukai di tahun 2019. Ini termasuk kebijakan untuk penanggulangan defisit JKN dengan earmarking Pajak Rokok.

Tanpa PMK Cukai Hasil Tembakau yang berpihak pada kesehatan masyarakat, Perpres No. 82 Tahun 2018 akan tidak efektif karena sama saja dengan ‘menuang air ke gelas yang bocor’.

Berbagai riset yang telah dilakukan membuktikan bahwa dampak rokok terhadap kemiskinan, kesehatan, dan investasi sumber daya manusia. PKJS-UI telah memberikan bukti valid dari data representatif populasi di Indonesia mengenai efek konsumsi rokok terhadap stunting dan kemiskinan. Begitu pula dukungan kenaikan harga rokok juga telah ada dari publik (berdasarkan 1000 responden via telepon). “Keputusan pembatalan kenaikan cukai rokok tahun ini diambil sangat bertolak belakang dengan hasil riset berbasis ilmiah dan temuan prevalensi perokok muda yang semakin naik pada hasil Riskesdas 2018. Pemerintah butuh bukti apa lagi?” ungkap Renny Nurhasana mewakili Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia.

Magdalena Sitorus, Ketua Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau menambahkan, “Kelompok perempuan merasa sangat kecewa karena suara yang telah kami kerahkan untuk mendorong harga rokok menjadi mahal sama sekali tidak didengar pemerintah.” Batalnya cukai rokok memiskinkan perempuan dan membakukan “budaya” konsumsi rokok adalah hal yang wajar.
“Pemerintah dalam hal ini presiden memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat perubahan di negara kita untuk pengendalian produk tembakau tapi tampaknya pemerintah memilih mengalah di tangan industri rokok dan mengorbankan anak-anak sebagai tumbalnya,” tutup Dr. dr. Prijo Sidipratomo, Sp.(k) Rad, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau. (dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *