NU dan Parmusi Tidak Setuju Investasi Miras Dibebaskan

JakartaDetakpos.com-Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemerintah menjadikan industri minuman keras yang sebelumnya masuk daftar negatif investasi, menjadi keluar dari daftar tersebut.

Dengan dicabutnya dari daftar negatif, maka investor akan berlomba-lomba membangun pabrik minuman keras. “Minuman keras jelays-jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya,” katanya dilansir NU-Online.

Pendirian pabrik baru atau perluasan yang sudah ada, akan mendorong para pengusaha mencari konsumen minuman beralkohol yang diproduksi demi meraih keuntungan, sementara di sisi lain, masyarakat yang akan dirugikan.

Di Ia juga tidak sepakat, produksi minuman beralkohol ini untuk tujuan ekspor atau untuk memenuhi konsumsi di wilayah Indonesia Timur yang permintaanya tinggi. “Seharusnya, kebijakan pemerintah adalah bagaimana konsumsi minuman beralkohol ditekan untuk kebaikan masyarakat, bukan malah didorong untuk naik,” tandasnya.

Menteri Perindustrian MS Hidayat Nurwahid, Timnas Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (PEPI) di bawah Kemenko Perekonomian tengah merevisi Perpres Perpres No 36/2010 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Hidayat mengatakan, revisi DNI itu merupakan upaya pemerintah untuk memperbarui kebijakan terkait investasi dengan menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan investasi. Revisi tersebut dilakukan secara berkala karena tidak mungkin keputusan dari aturan sejak 10 tahun yang lalu tetap diberlakukan.

“[Revisi DNI] Ya policy mengenai alkohol. Itu kalau diinsentifkan di Indonesia Timur kan tidak apa-apa. Semacam begitulah kira-kira. Dan itu karena demand-nya tinggi. Kalau misalnya wine dibuat di Bali, lalu diekspor 100%, why not?” kata Hidayat. Dia menyatakan, apakah nantinya revisi DNI di sektor minuman beralkohol tersebut berlaku untuk industri yang melakukan perluasan atau bagi investasi baru, hal itu masih dibahas lebih lanjut. Termasuk, rencana mendorong dilakukan di Indonesia Timur karena dinilai sebagai wilayah yang cocok untuk produk tersebut. “Nanti akan dibuat definisi baru mengenai itu [bagi industri akohol yang ekspansi atau investasi baru]. Kan kalau sekarang hanya boleh perluasan, saya mengusulkan boleh aja [investasi] yang baru, apalagi kalau 100% ekspor,” jelasnya.

Terpisah Ketua Umum Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) H. Usamah Hisyam mengatakan, seluruh proses pembangunan di Indonesia harus menggunakan sumber-sumber pendapatan negara yang halal, tidak bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam agama, utamanya adalah nilai-nilai agama Islam yang dianut mayoritas penduduk di Indonesia.

Karena jika nilai-nilai ini ditentang, sebutnya, sama saja dengan bertentangan dengan Pancasila Sila pertama, yakni Ketuhanan yang Maha Esa yang mengakui secara konstitusional UUD 45 Pasal 29, bahwa seluruh umat beragama ini diakui untuk beragama.

Oleh sebab itu dalam proses pembangunan nasional, jelasnya, nilai-nilai ini harus tetap diusung dan tidak boleh ada kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut sekalipun untuk mendapatkan pendapatan belanja negara.

“Belakangan ini pemerintah tampak panik. Padahal tidak perlu panik sampai melakukan investasi dengan cara menghalalkan sesuatu yang haram. Untuk membangun investasi dengan uang haram dengan mengizinkan minuman keras (miras), ini sama saja bertentangan dengan substansi nilai-nilai yang dijunjung oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama-agama,” ungkap Usamah di Jakarta, Senin (1/3/2021).

Usamah menegaskan, agama Islam yang dianut mayoritas penduduk Indonesia secara tegas melarang adanya peredaran miras. Artinya, sekali pun di Papua, Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), paling tidak ada 10 – 15 % masyarakat muslim di provinsi-provinsi tersebut.

“Kalau kemudian yang mayoritas dikasih mabok, yang minoritas juga ikut, jadi apa bangsa ini ke depan. Dan apakah kemudian agama non-Islam itu identik dengan permabokan? Kan tidak juga. Terbukti tokoh-tokoh, warga, masyarakat di Papua menolak, karena ternyata miras ini menghambat pertumbuhan sumber daya manusia daerah setempat. Lantas arah pembangunan sumber daya manusia nasional ini mau ke mana?” kata Usamah.(d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *