Hijrah, Kembali ke Jalan Tasawuf

Oleh: AAdib Hambali (*

BERTEPATAN Peringatan tahun Baru Hijriyah 1443, pada 10 Agustus 2021, adalah saat tepat untuk merefleksikan pemikiran Dr Muhammad Nursamad Kamba dalam buku “Mencintai Allah Secara Merdeka”

Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan ahlak yang mulia, budi pekerti yang luhur. Artinya, begitu pula pada awalnya, Islam itu agama ahlak.

Sebelum datang agama Islam, sudah terlebih dahulu tumbuh komunitas Hanif (Kelompok Hunafa). Ini semacam perkumpulan rohani, yang meneruskan ajaran Nabi Ibrahim AS. Perkumpulan ini teguh pada ketauhidan, (monotheisme). Ajaran ini juga teguh pada seruan kebajikan.

Anggota komunitas Hanif itu antara lain: Waraqah Ibn Naufal. Ia berhubungan keluarga dengan Sayyidah Khadijah, yang kemudian menjadi istri Nabi Muhammad. Khadijah juga disebut sebagai pengikut kelompok Hunafa.

Nabi Muhammad SAW menikah dengan Khadijah, saat berusia 25 tahun. Nabi mendapatkan wahyu pertama ketika berusia 40 tahun. Ada selang waktu 15 tahun, sebelum mendapatkan wahyu. Dalam kurun itu itu, Nabi juga bersentuhan dan memantapkan diri dengan al- hanifiyyah itu.

Ketika wahyu pertama turun diceritakan, Khadijjah mengantar Nabi Muhammad kepada Waraqah. Nabi menjadi tenang setelah mendengar penjelasan Waraqah.

Cukup besar peran komunitas Hanif ini kepada Khadijah dan Nabi Muhammad SAW. Dimulailah era kenabian Muhammadb SAW. Pengikut awal Muhammad SAW adalah mereka yang berorientasi penyempurnaan ahlak. Telah datang agama yang memang ingin menyempurnakan Ahlak.

Tapi terjadilah perang Badr. Kaum Quraish sangat bersemangat menumpas Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Perang sebenarnya tidak seimbang. Quraish sangatlah kuat.

Namun perang Badr justru dimenangkan oleh Nabi Muhammadb SAW. Perang Badr menjadi penting dalam tonggak perkembangan Islam selanjutnya.

Atas kemenangannya, Nabi Muhammad SAW menjadi daya tarik baru. Berbondong- bondong masyarakat pindah memeluk Islam. Islam dianggap potensial menjadi pusat kekuasaan baru.

Namun motif bergabung dengan Islam pascaperang Badr berbeda beda. Di antara mereka ada yang bergabung dengan orientasi kekuasaan, tulis Dr. Muhammad Nursamad.

Dimulaiah perbedaan motif dan prilaku dalam beragama Islam. Ada yang motif dan prilakunya menjadikan agama Islam sebagai Agama yang menyempurnakan Ahlak. Agama budi pekerti. Agama Cinta.

Ada pula yang prilakunya menjadikan Agama Islam sebagai jalan hidup menuju kekuasaan.

Tafsir “Agama Ahlak” versus ‘Tafsir Agama Kekuasaan” pun terus berlanjut hingga kini. Perbedaan tafsir ini tentu saja tidak hanya terjadi pada agama Islam. Namun ini juga terjadi pada agama agama lain.

Masih dari Nursamad Kamba dalam bukunya menegaskan agar tafsir Islam diperkuat kembali ke khitah-nya yaitu Agama Tasawuf, Cinta dan Akhlak.

Peneliti senior LSI Denny JA menilai seruan agar tafsir Islam kembali pada khittah sebagai jalan tasawuf, jalan cinta, sangat relevan saat ini di era marak politisasi agama begitu kuat.

Agama Islam dijadikan instrumen bukan untuk moralitas agama yang tinggi. Tapi agama sekadar instrumen perebutan kekuasaan dalam pemilu atau pilkada.

Seruan itu lebih kuat lagi tafsir karena memiliki akar yang panjang. Tersebutlah Ibnu Qayim yang hidup di abad 14. Ia murid menonjol dari Ibnu Taimiyah. Menurutnya, akar dari Islam adalah Cinta. Quran disebutnya buku dari Tuhan sebagai ajaran untuk mencintai.

Semua agama Tuhan menurutnya bersandar pada satu kesamaan: Cinta. Ada 124 ribu Nabi di seluruh dunia. Semua membawa pesan yang sama: Cinta.

Sham i Tabrizi, yang disebut guru Jalaluddin Rumi, hidup di abad 13, menyatakan hal sama. Ia menyebut wahyu itu semacam surat Tuhan soal Cinta. Jika para ulama lain, ahli hukum, teolog tidak melihat agama wahyu itu sebagai ajaran cinta, itu karena mereka bias dengan prakondisi pengetahuannya sendiri.

Hal yang sama dikatakan oleh Hafiz. Ia salah satu penyair terbesar dunia Muslim dari Persia. Ia hidup di abad 14. Menurutnya, semua agama yang disentuh wahyu Tuhan berakar pada pesan yang sama: ajaran cinta.

Lalu mengapa terjadi begitu banyak kekerasan, tembok-tembok tinggi yang memisahkan manusia, atas nama agama dan Tuhan? Pertanyaan itu disampaikan Denny JA

Dari perspektif di atas, itu tidak lain semata mata bias para pemeluk. Itu bias karena prakondisi isi kepalanya sendiri yang tak menggapai ketinggian ajaran

Setelah menamatkan
buku Dr. Muhammad Nursamad Kamba, Denny pun merenungkan buku itu lagi dan lagi.

Almarhun Dr. Muhammad Nursamad sudah pergi. Tapi spirit bukunya
terus hidup. “Seruan agar tafsir Islam sebagai jalan tasawuf, agama Cinta, akan semakin dirindu.”pungkas Denny.

Redaktur senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *