Menuju NU Mandiri di Usia 94 Tahun

Oleh: A Adib Hambali (*

KHITTAH NU adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdliyyin yang dicerminkan dalam prilaku perseorangan maupun organisasi dalam setiap pengambilan keputusan.

Definisi tersebut tertuang dalam Naskah Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun’im DZ dalam buku “Piagam Perjuangan Kebangsaan” (2011).

Naskah Khittah dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh sejumlah kiai menjadi tonggak kembalinya NU dalam rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal didirikan.

Keputusan NU menjadi partai pada tahun 1952 disadari turut mendegradasi peran dan perjuangan organisasi karena fokus lebih ke arah politik praktis saat itu.

Dalam proses berikutnya, keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat. Setelah menjadi partai politik pada 1952, banyak pihak dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke khittah.

Keinginan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis.

Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah, bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.

Setelah itu seruan kembali ke khittah sempat terhenti. Gagasan itu tersebut muncul lagi pada 1979, ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah.

Seperti sebelumnya, usulan kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga terhenti. Apalagi NU sedang giat memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP.

Namun praktiknya, kelompok kritis kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.

Misi kembali ke khittah nyaring lagi ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran pemulihan Khittah NU 1926.

Naskah ini dibahas secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur, Jakarta. Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakan Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur, satu tahun sebelum digelar Muktamar NU ke-27 di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.

KH Achmad Siddiq menegaskan, Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya.(NU online/2017)

Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan ke-Indonesiaan.

Naskah Khittah Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Bersama para aktivis lain yaitu H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai sepuh lain.

Menurut kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke khittah 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur.  (KH Husein Muhammad, “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus”. (2015)

Pandangan kebangsaan kedua tokoh tersebut dan didukung oleh para kiai lain mampu membawa NU ke rel yang sesungguhnya. Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara.

Sebab itu, politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara.

Pada perkembangannya, gagagasan khittah plus sempat muncul dalam suasana menjelang Pilpres 2019 yang diikuti olen tokoh NU KH Ma’ruf Amin yang digandeng capres Joko Widodo. Bahkan mencuat sebelum Pilkada 2018.

Khittah plus terkait dengan politik praktis ini sempat memunculkan tafsir baru atau istilahnya qaul Jadid (pendapat kelompok di tubuh NU sendiri yang baru muncul),, sebagai antithesis terhadap kelompok yang tetap berpedoman pada Khittah 26, yang sering disebut kelompok  qoul qadim.

Kalangan kelompok qaul qadim mempertanyakan ihwal khittah plus, apakah sebuah kemajuan NU atau kemunduran seperti sebelum kembali ke khittah 26.

Adalah Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA meluruskan dan menegaskan posisi NU pada
saat memperingati hari lahir ke-94 Nahdlatul Ulama. Bahwa NU adalah Jami’yyah Diniyyah Islamiyyah Ijtima’iyyah yang didirikan tanggal 31 Januari 1926 di Jalan Bubutan Surabaya dan dideklarasikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan kiai kiai lain, dengan tujuan membangun embrio pergerakan nasional dalam bingkai Islam ahlussunnah wal Jamaah.

Nahdlatul Ulama akan segera memasuki usia satu abad pada tahun 2026. Langkah-langkah mengukuhkan kemandirian perlu terus dilakukan. (Detakpos, 31/1/2020).

Jika menelusuri sejarah, akar kemandirian Nahdlatul Ulama bersendikan pada tiga embrio. Pertama, Tahswirul Afkar sebagai pergerakan di bidang dinamisasi pemikiran. Kedua, Nahdlatut Tujjar sebagai pergerakan di bidang revitalisasi ekonomi. Ketiga, Nahdlatul Wathan sebagai pergerakan di wilayah internalisasi ideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang berwawasan kebangsaan dan nasionalisme.

Ketiga embrio pergerakan ini landasan utama berdirinya Nahdlatul Ulama. Pilar intelektual, ekonomi, dan nasionalisme-lah yang akan mengukuhkan bangunan Nahdlatul Ulama. Pada tiga pilar ini arah khittah kemandirian Nahdlatul Ulama dikukuhkan. Khittah Asasiyyah yang akan menjadi penjaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menghadapi era baru persaingan ekonomi global, langkah-langkah revitalisasi menuju penguatan gerakan ekonomi nasional yang bertumpu pada upaya terwujudnya keadilan sosial perlu terus didorong dan diupayakan

Itulah mengapa Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama Oktober 2020 di Lampung mendatang mengambil tema “NU Mandiri Indonesia Bermartabat”.

Sebagai upaya meneguhkan khittah kemandirian Nahdlatul Ulama, malalui Rapat Gabungan Pengurus Harian Syuriyah dan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tanggal 4 November 2019 memutuskan penggalangan Koin Muktamar untuk penyelenggaraan Muktamar Nahdlatul Ulama, untuk menjaga kemandirian NU dari intervensi pihak pihak yang menunggangi NU dan ‘syahwat’ politik praktis warga NU sendiri.

“): Penulis Redaktur senior Detakpos

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *