Menuju PCNU Bojonegoro Mandiri

Oleh: A Adib Hambali (*)

PENGURUS Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bojonegoro, Jawa Timur, akan menggelar konferensi, menyusul berakhirnya periode kepengurusan sekarang pada Desember 2018.

Insya Allah,  forum tertinggi di tingkat cabang itu akan menggelar Konfrensi Cabang (Konfercab) NU Bojonegoro,  bersamaan mengakhiri tahun 2018, pada 30 Desember.

Selain memilih kepengurusan cabang lima tahun mendatang,  konferensi juga akan mengevaluasi capaian program yang diamanatkan konfercab selama priode khidmat berakhir melalui pertanggungjawaban.

Yang paling sulit dan krusial kepengurusan NU di semua tingkatan, termasuk PCNU Bojonegoro ketika memasuki tahun politik 2018-2019 saat melaksanakan Pilkada serentak 2018, Pemilihan legislatif dan Pilpres 2019.

Pilkada 2018 di Bojonegoro,  diikuti sejumlah kandidat calon bupati-wakil bupati dari kader NU. Dari empat pasang calon, tiga di antaranya adalah warga Nahdlyyin.

Meski tidak mengatasnamakan NU,  keterlibatan sejumlah pengurus dalam tim sukses (Timses), tanpa mundur dari kepengurusan menyebabkan terjadi tarik menarik kepentingan di internal pengurus.

Tentu sesuatu hal yang lumrah dalam demokrasi, bahwa NU tidak ke mana-mana tapi warga NU ada di mana-mana sebagai konsekwensi khittah yang menjadi garis perjuangan jam’iyah terbesar di negeri ini.

Hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo (1984), menetapkan NU kembali ke Khittah 26, yaitu sebagai jam`iyah, setelah lama berkecimpung dalam organisasi politik, bahkan puluhan tahun lamanya.

Secara organistoris NU tidak terikat oleh organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun.

Penegasan sebagai organesasi yang bergerak di bidang sosial, dakwah keagamaan berkali-kali ditetapkan melalui: Muktamar Cipasung (1994), Lirboyo, Kediri (1999), Solo (2004), Makassar (2010), dan Muktamar Jombang (2015).

Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri, PBNU menganjurkan kepada warga NU untuk menggunakan hak politik secara bebas, kritis dan rasional sesuai kultur dan aspirasi politik dengan tetap memegang prinsip Khittah 1926.

Muktamar Kediri juga mempertegas hubungan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai yang didirikan warga NU itu memiliki hubungan historis, karena PBNU yang menfasilitasi pendirian, bukan melahirkan.

Penyebutan didirikan oleh warga NU, karena tidak seluruhnya. Warga NU yang di PPP, Golkar, PDIP dan partai lain tidak termasuk. Jadi PBNU memfasilitasi pendirian partai oleh warga NU.

Berdasarkan konsentrasi perjuangan itu menjadi sangat jelas, Jam’iyah NU secara kelembagaan (institusional) tidak memiliki kaitan atau ikatan komitmen dengan partai politik mana pun.

Rangkul Kader NU

Hal ini wajib ditegaskankan kembali agar khitah perjuangan NU tidak mudah dibawa para politisi untuk memenuhi kepentingan dirinya.

Dengan khittah, di bidang politik praktis, NU adalah organisasi yang mandiri
sesuai garis perjuangan. Perjuangan politik NU adalah memperjuangkan politik di bidang keadilan, kemiskinan dan memerangi kebodohan sosial.

Perjuangan politik praktis diserahkan kepada warga dan kader NU dengan memberi kebebasan untuk menempuh jalur lewat lembaga politik yang sah sesuai pilihan warga.

NU perlu merangkul semua kader yang tersebar di berbagai parpol. Dengan harapan misi dan visi dan aspirasi Nahdlyyin dengan sinergi kader di lembaga legislatif dan eksekutif bisa saling bahu membahu memperjuangkan aspirasi warga dan masyarakat.

Di bidang ekonomi, NU perlu membangun perekonomian warga dan masyarakat Bojonegoro ke arah yang lebih produkrif.

Usaha kecil menengah warga dan masyarakat Bojonegoro menjadi target pembinaan untuk mengentaskan dan mengurangi angka kemiskinan.

Aspek permodalan di NU sudah ada titik terang melalui Lazis NU di sejumlah MWC yang telah merintis pemgumpulan dana lewat “Koin Peduli NU” yang cukup signifikan.

Jika setiap ranting minimal mampu mengumpulkan Rp 2 hingga Rp 3 juta/bulan, NU di Bojonegpro memiliki aspek permodalan cukup signifikan.

Dana yang terkumpul bisa dikembangkan ke arah pengembangan ekonomi masyarakat yang produltif,  di samping bosa menopang kegiatan rutin organisasi.

Di bidang ini, NU Bojonegoro memiliki tantangan, yakni persoalan yang menjerat usaha kecil seperti rentenir  berkedok koperasi simpan pinjam. Dengan bunga yang besar, sulit usaha kecil bisa berkembang.

Solusinya,  dengan dana koin bisa mengurai permodalan usaha kecil, serta membangkitkan home industri yang dipasarkan melalui usaha kecil binaan NU.

Dana yang dikembangkan melalui pembinaan usaha kecil ini diharapkan memperbesar kue permodalan untuk pengembangan masyarakat dan warga NU  di bidang pendidikan, kesehatan yang lebih baik dengan manajemen profesional yang baik pula.

Akhirnya, NU menjadi
organisasi mandiri secara politik dan ekonomi karena tidak tergantung oleh siapa pun, sehingga “marwah” NU terjaga, tidak terseret dan diobok obok untuk kepentingan sesaat. Semuanya berada dalam bingkai garis perjuangan para muassis atau pendiri NU, khittah 26. Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamitthoriq. Aamin. (*)

Penulis: Mantan ketua IPNU dan PMII Cabang Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *