Oleh A Adib Hambali (*
PRESIDEN ke 4 KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk meyimpulkan dan memutuskan bahwa Pancasila itu Islami.
Gus Dur ketika itu memimpin rapat substansi Pancasila sebagai dasar negara dan organisasi di Indonesia dalam Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur.
Ada beberapa alasan mendasar NU membahas Pancasila di mukktamar. Pancasila akan mampu mempersatukan seluruh bangsa, tidaklah cukup bagi sejumlah ormas Islam di Indonesia saat itu.
Meskipun NU sendiri tidak pernah mempersoalkan keberadaan Pancasila, karena putera pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim ikut merancang Pancasila secara teologis maupun filosofis.
Gus Dur memimpin subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila.
Gus Dur kemudian menunjuk lima orang kiai sebagai anggota, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri ,(Rembang), Dr KH Hasan (Medan) KH Zahrowi, KH Mukafi Makki, dan dr Muhammad dari Surabaya.
Gus Dur membuka rapat saat itu dengan bertanya kepada anggota satu per satu soal pendapatnya tentang hubungan Islam dan Pancasila. Mereka menyampaikan pandangannya terhadap satu per satu sila dalam Pancasila disertai sejumlah argumen keagaman.
Mantan ketua umum PBNU itu mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian. Pada dasarnya, Pancasila menurut para kiai dalam subkomisi ini tidak bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Pancasila itu Islami,” simpul mereka. Usai mereka menjawab, Gus Dur berkata, “Bagaimana jika ini (Pancasila itu Islami, red), saja yang nanti disampaikan, dideklarasikan di sidang pleno Muktamar?” Tanya Gus Dur.
Tanpa pikir panjang, mereka setuju, sepakat bulat, lalu rapat ditutup oleh Gus Dur, seperti ditulis dalam buku “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” karya KH Husein Muhammad (Noura Books, 2015).
Di Muktamar Situbondo itu NU menerima asas tunggal Pancasila, berikutnya diikuti ormas lain dan menjadi tonggak bagi orde baru dalam memantapkan Ideologi bangsa dan negara. Negara memiliki aturan baku yang menjelaskan butir-butir Pancasila diatur dalam Tap MPR Nomor 2 Tahun 1978.
Dalam Tap MPR tersebut djelaskan lima sila Pancasila yang meliputi 36 butir. Sedikit demi sedikit nilai-nilai Pancasila digerogoti oleh perilaku rezim yang menodai Pancasila itu sendiri yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga rezim orde baru yang berkuasa selama 30 tahun lebih itu pun runtuh oleh gerakan reformasi pada 1998, ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Lahirnya era reformasi membuka lebar peluang beragam ideologi masuk sehingga nilai-nilai Pancasila mulai berbenturan dengan ideologi transnasional dan berbagai macam kepentingan kelompok kanan, kekiri-kirian dan bahkan liberal.
Tap II/ MPR /tahun 1978 pun oleh MPR periode 1997-1998, dicabut dengan Tap MPR /18 /tahun 1998. Akibatnya tidak ada lagi satu dokumen resmi tentang Pancasila yang butir-butirnya disepakati sebelumnya. Termasuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tentang pembangunan lima tahunan.
Benturan ini semakin terasa oleh pemerintah Presiden Joko Widodo karena ancaman disintegrasi akibat benturan ideologi transnasional, ditambah kesenjangan ekonomi, ancaman itu semakin terasa.
Klaim Mayoritas
Adalah Kepala BPIP, Prof Yudian Wahyudi, melontarkan pernyataan publik yang memancing polemik. Dalam suatu wawancara dengan sebuah media online pada hari Rabu (12/2), Yudian mengatakan, “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas.
Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Konteks pernyataan tersebut, sebagaimana diberitakan pada laman daring yang sama adalah “Belakangan ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingan sendiri, yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon Wakil Presiden. Ketika manuvernya kemudian tak seperti yang diharapkan, bahkan cenderung dinafikan oleh politisi yang disokongnya, mereka pun kecewa.” Sayangnya, yang menjadi konsumsi awam, juga oknum anggota DPR, Partai Politik, Pimpinan MUI, Pimpinan Ormas Islam, dan bahkan beberapa intelektual di Perguruan Tinggi adalah ‘Agama Musuh Pancasila’. Memang judul itu seksi
Jika dibaca teks dan konteksnya secara utuh, wacana utama yang dapat diinterpretasi dari pernyataan Kepala BPIP adalah ‘Sekelompok minoritas yang mengatasnamakan mayoritas telah menggunakan agama untuk memusuhi Pancasila’, juga ‘Terdapat sekelompok orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik kelompok.’
Dalam pandangan SETARA Institute, apa yang disampaikan Kepala BPIP faktual adanya. Sebagai pejabat publik, dia secara terbuka mengakui bahwa ada sekelompok orang, yang mereduksi agama, mengatasnamakan agama, dan mengaku mewakili pemeluk agama mayoritas, telah menggunakan agama untuk memusuhi Pancasila.
Penulis: Redaktur senior Detakpos