Oleh: A Adib Hambali (*
HEROIK. Itulah kesan saat menyaksikan peringatan Hari Santri 2019 yang digelar di berbagai daerah. Peringatan Hari Santri dikaitkan dengan heroisme peringatan Hari Pahlawan 10 November itu sesuatu hal yang layak digelar untuk mengenang peran pesantren terhadap negara dan bangsa.
Maklum, Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam model kekhasan termasuk pesantren.
Jumlah pesantren di Indonesia sangat banyak yaitu 28.194 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 18 juta anak dan didampingi oleh sebanyak 1.5 juta guru.
Sementara, dari jumlah tersebut, terdapat sebanyak 5 juta santri mukim. Ini tentu saja merupakan jumlah yang sangat besar dan memerlukan perhatian khusus.
Menurut Undang-Undang 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren, terdapat tiga model pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk kitab kuning. Kedua, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Mu’alimin. Ketiga, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Sebuah pertanyaan muncul apakah peringatan Hari Santri 2020 masih semeriah tahun lalu di tengah pandemi Covid-19. Sudah tiga bulan justru santri di pondok pesantren dipulangkan dan menghindari belajar tatap muka dan penyebaran virus Covid-19.
Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU), yang disampaikan oleh Ketua
H. Abdul Ghofarozzin dan Sekretaris Habib Sholeh di Jakarta pun
menyatakan, jumlah dan pertumbuhan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 masih tinggi
dan mengkhawatirkan.
Persebarannya juga makin meluas.
Sementara prasyarat untuk mencegah penularan Covid-19, terutama jaga jarak (social/physical distancing), semakin sulit diwujudkan.
Keadaan demikian, Abdul Ghofarozzin meminta pemerintah tetap waspada dan memastikan aturan seperti PSBB dapat berjalan secara efektif.
Namun, justru yang dirasakan adalah pelonggaran terhadap PSBB dan pemerintah akan segera melaksanakan New Normal (Kelaziman Baru). Hal ini sangat
berisiko bagi makin luas dan besarnya persebaran Covid-19 termasuk dalam lembaga Pendidikan.
Terhadap Pesantren, kata Abdul Ghofarozzin, belum memiliki perhatian dan kebijakan
khusus untuk menangani Covid-19.
Namun, tiba-tiba pemerintahmendorong agar terlaksana New Normal dalam kehidupan pesantren.
Hal demikian tentu saja mengkhawatirkan. “Alih-alih untuk menyelematkan pesantren dari Covid-19, pesantren yang berbasis komunitas dan cenderung
komunal justru dapat menjadi klaster baru pandemi Covid-19.
Sesuatu yang sepatutnya dihindari,”kata Abdul Ghofarozzin.
Mengamini sikap RMI, terkait dengan adanya rencana kebijakan New Normal, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa pemerintah mesti hati-hati dan tidak terburu-buru untuk membuka pesantren dan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka.
Pemerintah perlu belajar dari negara negara lain, di mana pembukaan belajar di sekolah tampaknya masih menyisakan sejumlah persoalan karena belum siap dan memenuhi standart aman bagi anak.
Maka, Pemerintah perlu mempertimbangkan banyak hal, di antaranya; aspek kasus Covid-19 di masyarakat yang turun secara signifikan, kesiapan SDM, sarana dan prasarana pendukung agar memenuhi standart protokol kesehatan serta aspek lain yang terkait.
Apalagi, sampei saat ini masih banyak pesantren yang memiliki keterbatasan dalam penyelenggaraan layanan pendidikan, termasuk fasilitas dan sarana-prasarana yang aman, sehat bagi anak, dan sesuai dengan standar protokol kesehatan Covid-19.
Oleh karena itu, Ketua KPAI Susanto meminta Kementerian Agama untuk melakukan pemetaan terlebih dahulu terkait kondisi dan kesiapan pesantren dalam penyelenggaaan pembelajaran tatap muka sesuai dengan standar kesehatan sesuai protokol kesehatan Covid-19.
Dalam hal pesantren berada dalam kondisi terbatas guna upaya pemenuhan standar protokol kesehatan Covid-19 untuk pembelajaran tatap muka, pemerintah dan pemerintah daerah hendaknya memberikan perhatian khusus terhadap pesantren, termasuk pemenuhan fasilitas dan sarana-prasarana serta pendukung lain yang dibutuhkan.
Secara lebih khusus, KPAI meminta agar proses pembelajaran secara tatap muka langsung di pesantren dalam kondisi new normal ditunda terlebih dahulu, jika pesantren belum memenuhi standar protokol kesehatan Covid-19, apalagi saat ini kasus tersebut di masyarakat masih tinggi.
Prinsipnya, keselamatan dan kesehatan anak harus menjadi prioritas utama agar pembukaan belajar tatap muka tidak menghadirkan masalah baru.
RMI-PBNU menyatakan bahwa pelaksanaan new normal di pesantren
tidak dapat dilakukan jika tidak ada dukungan pemerintah untuk tiga syarat.
Pertama, kebijakan pemerintah yang kongkrit dan berpihak sebagai wujud
keseriusan pemerintah dalam menjaga pesantren dari risiko penyebaran
virus Covid 19.
Kedua, dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan, seperti rapid test, hand sanitizer, akses pengobatan dan tenaga ahli kesehatan.
Ketiga, dukungan sarana dan fasilitas pendidikan meliputi fasilitas pembelajaran online bagi santri yang belum bisa kembali ke pesantren dan biaya pendidikan ( Syahriyah/SPP dan Kitab ) bagi santri yang terdampak secara ekonomi.
Apabila tidak ada kebijakan nyata untuk tiga hal tersebut maka RMI-PBNU menyarankan pesantren memperpanjang masa belajar di rumah.
Juga menghimbau agar setiap keputusan yang diambil terkait
dengan nasib pesantren harus melibatkan kalangan pesantren.*)
Redaktur senior Detakpos