Oleh: A Adib Hambali*
MEMASUKI tahun politik 2023, masyakarat disuguhi polemik terkait keikutserta an Timnas Israel di Piala Dunia U-20. Pro dan kontra. yang memantik kegaduhan ini berbuah Indonesia batal menjadi tuan rumah perhelatan akbar dunia tersebut.
Dicoretnya Indonesia, telah menimbulkan kemarahan publik dan rasa kecewa mendalam. Saling tuding pun tak terhindarkan di antara para politisi yang ikut andil di dalam meramaikan polemik tersebut.
Tapi yang lebih penting dari semua itu ketika polarisasi yang selama ini terbangun mapan sebagai konsekuensi dari politik identitas ambyar.
PDIP yang semula dianggap partai moderat dalam pandangan politik seperti biasanya. Tapi menolak kehadiran Timnas Israel di Indonesia. Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan dengan tegas, penolakan partai ber Lo ambang banteng moncong putih tersebut dillandasi semangat kemanusiaan.
Tidak kalah seru dan kontroversi adalah sikap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Dia yang selama ini digadang-gadang sebagai calon presiden potensial dari Partai PDIP, juga memiliki pandangan sama terhadap Israel. Ganjar mengaku sikap tersebut semata-mata karena memegang teguh amanat Bung Karno yang menolak negara Israel.
Sikap para politisi PDIP pun membuat kaget sebagian pihak, sekaligus menghapus citra politik yang dibangun sedemikian lama. Para buzzer yang secara kultural dikenal sebagai juru bicara partai penguasa, dan advokad tidak resmi dari Ganjar, kelimpungan.
Pasalnya mereka sudah terlanjur membuat narasi yang cendrung afirmatif terhadap keikutsertaan Timnas Israel di Piala U-20.
Saat ini Ade Armando dan kawan-kawan sibuk melakukan klarifikasi, berupaya membersihkan nama Ganjar dari polemik ini, melindunginya dari serangan para netizen yang sudah telanjur termakan oleh hiruk pikuk polarisasi dan stigma politik identitas yang terus berkembang liar.
Deklarator Ganjarian Ade Armando menduga penolakan Ganjar terkait kehadiran Timnas Israel di Indonesia merupakan jebakan dari PDIP.
Ade beralasan terdapat selisih delapan hari antara Gubernur Bali I Wayan Koster dan Ganjar dalam menyampaikan pernyataan penolakan tersebut. Waktu delapan hari itu digunakan Ganjar untuk menimbang perlu atau tidaknya pernyataan itu disampaikan kepada publik hingga kemudian Ganjar memutuskan untuk melontarkan pernyataan itu.
Ade menilai sangat wajar apabila publik berpendapat bahwa Ganjar diminta pimpinan partai mengeluarkan pernyataan tersebut sebagai bentuk pengujian loyalitas terhadap partai.
“Sehingga wajar kalau kemudian orang berspekulasi paling tidak menganalisis dan membayangkan bahwa hanya Ganjar yang diminta untuk mengeluarkan pernyataan ini dan bukan tokoh-tokoh PDIP yang lain barangkali karena ya memang untuk menguji seberapa loyal dia terhadap keputusan partai,” kata Ade di CNN Indonesia TV, Senin (3/4) malam.
Ia pun menduga ada beberapa pihak yang memang tidak menyukai Ganjar. Dugaan itu kian diperkuat dengan sulitnya Ganjar melenggang ke kontestasi politik nasional sebagai calon presiden 2024.
Ade berkesimpulan bahwa pernyataan Ganjar terkait kedatangan Timnas Israel merupakan jebakan guna menjatuhkan Ganjar.
Hasto Kristiyanto mengkritik Ade Armando yang dianggap menyalahkan PDIP atas sikap Ganjar yang menolak kehadiran Israel di Piala Dunia U-20 Indonesia.
Alih-alih menyalahkan PDIP, Ade mestinya mengkritik Anies Baswedan yang diam soal polemik penolakan Israel dan pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Kenapa urusan sepenting ini diam saja,.
Kritik Ade Armando justru berkebalikan dari pemikiran rasionalnya selama ini.Keputusan PDIP menolak kehadiran Israel didasarkan pada pemikiran kemanusiaan Bung Karno.
Ada enam alasan PDIP menolak kehadiran Israel di Piala Dunia U-20 Indonesia, sebelum belakangan resmi dibatalkan. Enam alasan itu yakni ideologi, konstitusi, sejarah, hukum internasional dan kemanusiaan universal, serta kekuasaan sayap kanan Israel.
Di lain pihak, sosok Anies Baswedan dan Prabowo Subianto yang selama ini diidentikkan sebagai bapak politik identitas dan dekat dengan kelompok Islam kanan, justru tak memberikan komentar apapun.
Stigma politik identitas pun ambyar dan tak jelas. Calon yang mendapat label politik identitas justru terlihat moderat, sementara calon yang disebut-sebut antitesa, sebaliknya.
Hal ini menegaskan bahwa stigma-stigma yang berkembang, nasionalis dan Islamis, terbukti paradoks. Tak pelak fenomena ini akan mengubah konstelasi politik nasional, khususnya di Pemilu 2024.
Redaktur senior detakposcom