Mata Rantai Korupsi dengan ”Politik Biaya Tinggi” (Bagian I)

Opini: Oleh H A Adib Hambali (*)

MENTERI Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mencatat 77 kepala daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT ), dan 300 lebih kepala daerah terkena masalah di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mereka terjerat korupsi karena masuk di daerah rawan, seperti suap, bermain proyek, manipulasi anggaran, memeras sampai penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik. Dan hampir semua oknum kader partai politik.

Hal ini bukan aneh. Pasalnya, semua posisi di dalam struktur lembaga negara dari mulai lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif diisi oleh kader partai politik. DPR sebagai institusi kader partai politik juga ikut melakukan fit and proper test dalam pemilihan kepala lembaga fungsional negara seperti Gubernur Bank Indonesia, Dirut BUMN, Ketua KPK, KY, MK, MA sampai Kapolri dan komisioner KPI.

Ini menunjukan begitu besar peranan parpol dalam sistem politik dan kenegaraan saat ini. Dan itu memperlihatkan partai politik sebagai lembaga pencetak pejabat publik, posisinya sangat strategis dan menentukan.

Biaya politik di Indonesia sangatlah mahal. Pemilu 2014, total dana kampanye mencapai Rp 3,1 triliun. Untuk kongres partai Rp 7- Ro 9 miliar. Dengan biaya besar itu kemudian mendorong partai mencari dana dengan berbagai cara, akhirnya memicu praktik korupsi.

Upaya penggalangan dana bisa melalui aktivitas “perburuan rente”. Lembaga negara seperti kementerian, BUMN, dan parlemen dijadikan terkadang jadi  “sapi perah” oleh oknum kader partai dalam rangka menggalang dana politik. Biasanya, cara ini dilakukan dengan bermain proyek, mark-up pengadaan barang, sampai manipulasi anggaran.

Kasus korupsi proyek Hambalang yang melibatkan politikus Anas Urbaningrum, Nazarudin dan Andi Malarangeng adalah salah satu contoh korupsi dengan jalan perburuan rente. Aktivitas perburuan ini  semakin diperkuat ketika sejumlah partai mematok dana dalam jumlah besar  untuk partai kepada anggota yang menduduki jabatan publik.

Kemudian hal itu memaksa kader  yang menjadi pejabat publik mencari penghasilan di luar yang resmi.  Kasus Damayanti adalah contoh dari kasus korupsi semacam ini.

Selain itu diduga ada  “perselingkuhan” antara bisnis dan politik. Ini terjadi akibat masih berkuasanya “konglomerat kroni” dalam struktur ekonomi pasca Soeharto, yang bertemu dengan kondisi politik berbiaya tinggi.

Dengan kata lain, situasi politik biaya tinggi kemudian memberikan peluang kekuatan konglomerat kroni masuk dalam struktur pembiayaan partai politik. Terjadilah hubungan “simbiosis mutualisme”, kekuatan politik membutuhkan dana untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan kekuatan bisnis butuh  akses kebijakan untuk mempertahankan atau memperbesar bisnis.

Misal, seorang ingin mencalonkan anggota legislatif, gubernur atau bupati perlu biaya besar untuk memenangkan pemilihan. Biaya itu jauh lebih besar dari gaji, sehingga harus melibatkan kekuatan bisnis sebagai sumber dana untuk memenangkan pemilihan.

Untuk membalas “jasa keuangan” tak bisa ia hanya mengandalkan gaji. Maka ia harus memperjual belikan “kebijakan publik” sektor bisnis kepada penyandang dana.

Politik biaya tinggi juga akibat dari sikap sebagian masyarakat, karana elite-elite politik A Adib Hambali, Mantan aktivis, salah satu pendiri PMII Cabang Bojonegoro memperlihatkan sikap hedonisme, bermewah-mewah, sehingga warga yang merasa dibutuhkah  menjelang pemilu dan piikada pun memasang bandrol ”wani piro.”.

Ini tidak hanya terjadi di masyarakat awam, tapi juga sebagian kecil oknum tokoh, termasuk tokoh agama pun ikut memasang bandrol dalam memberi dukungan.

Tidak ada “makan siang gratis’ mereka pun mengeluarkan dana untuk mendapat dukungan dan restu sejumlah oknum tokoh agama, dan terjadilah ”perselingkuhan” politik dangan calon di pilkada.

Dari pola- pola ini, politik biaya tinggi” menjadi mata rantai sederet kasus korupsi yang terus menerus bermunculan tanpa henti. Akibatnya, persoalan korupsi menjadi persoalan sistemik.(bersambung-)*

Penulis: H A Adib Hambali, Mantan aktivis, salah satu pendiri PMII Cabang Bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *