Opini : Oleh H AAdib Hambali(*)
BURSA nama calon presiden dan wakil presiden terus bergerak. Setelah Joko Widodo (Jokowi) dipastikan mencalonkan diri pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan, nama pendamping menjadi perbincangan hangat.Sementara Prabowo yang hampir dipastikan maju, juga disebut tengah mematangkan nama wakilnya nanti.
Yang menarik, mantan tim Prabowo pada Pilpres 2014 ternyata masuk radar Jokowi, yaitu TGH Muhammad Zainul Majdi yang kini menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pria yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB), adalah kader Partai Demokrat.Menjelang Pilpres 2019, nama TGB masuk bursa untuk ikut bertarung, bukan lagi sebagai Tim Sukses. Pintu itu dibuka oleh partai yang menaungi TGB yaitu Partai Demokrat, dia merupakan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Selain masuk radar Jokowi, TGB juga disebut bisa mendampingi PrabowoLingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 7-14 Januari 2018. mensurvei totoh-tokoh yang menjadi calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.Ada 12 nama dari lima latar belakang yang berpotensi menjadi cawapres pada survei itu.
Kelima latar belakang itu adalah militer, representasi agama Islam, partai politik, gubernur daerah strategis, dan profesional. Dari latar belakang Islam, ada nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Gubernur NTB TGB Zainul Majdi, selain itu dia masuk dari kelompok gubernur.
Saya baru mengikuti dan mencari referensi sosok yang tiba-tiba mencuat ketika TBG sowan ke Ketua Umum Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon (PB MDHW), KH Musthofa Aqiel, Siroj, Jum’at (2/2/2018). Dia diterima di Ponpes KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat, milik keluarga besar Ketua Umum PBNU KH Said Aqiel Siroj.
Pertemuan dua tokoh itu tidak hanya membahas masalah agama, namun meluas hingga ke persoalan kebangsaan. Keduanya saling tukar pandangan, ihwal persoalan bangsa mutakhir.
Sebagai tokoh Muslim sekaligus Gubernur NTB dua periode itu dinilai sukses melakukan sejumlah terobosan dalam menekan angka kemiskinan, dan diharapkan mau menularkan pengalaman itu ke daerah lain.Pertemuan itu menjadi ”panggung” TGB.
Betul-betul menjadi spirit kebangsaan yang mencerahkan para santri karena mendengarkan logika nasionalisme TGB yang brilian. Fenomena yang seolah-olah ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme, itu sama sekali tidak benar.
Bahkan lebih cerdas lagi TGB mengatakan kenapa fenomena itu ada. Dia pun mengajak meilihat cara pandang secara historis yang berbeda, terutama dalam fenomena bangsa-bangsa yang banyak menginspirasi pergerakan Indonesia seperti Bangsa-bangsa Arab.
Perlu disadari ada resistensi masalah nasionalisme di tatanan bangsa Arab. Nation state yang dibentuk di negara Arab merupakan proses pembagian secara paksa atau dikasihkan dari bangsa-bangsa penjajah. Padahal bangsa Arab memiliki ketertarikan sistem kenegaraan dalam sejarahnya dengan khilafah. Maka wajar jika kemudian muncul resistensi tersebut.
Namun dalam sejarah Indonesia, bisa lihat dan rasakan, nation state yang dirasakan bukan merupakan pembagian atau dikasih dari penjajah, tetapi hasil kerja keras para pendiri bangsa dan juga merupakan proses penyatuan secara rela dari raja-raja Nusantara untuk membentuk persatuan yang lebih luas.
Di Indonesia bisa dirasakan bagaimana raja-raja di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya menyerahkan kekuasaan kerajaan hanya karena ingin lebih bersatu membangun kekuatan nasionalisme yang lebih luas yaitu Indonesia. Lalu kemudian untuk mengaitkan Nasionalisme dengan Islam, perlu merujuk pada sumber-sumber primer yaitu al-quran dan Hadits serta bentangan sejarah kaum muslimin.
Bukan pada buku-buku yang ditulis dari pengalaman kolektif mereka yang tidak sama dengan kita. Bisa disimpulkan lebih jelas, sebenarnya Islam menyerap seluruh kebaikan dalam fenomena kemanusiaan dalam kehidupannya.
Tidak ada benturan langsung antara Islam dan Nasionalisme. Dalam Islam, pandangan tentang nation state (qowmiyyah) yang ditawarkan Al quran bukanlah teori konflik, tapi merupakan pandangan dunia yang komplementatif.
Konsep-konsep nasionalisme dalam Islam tidak membuat bertentangan satu sama lain, tapi sebaliknya mempertahankan kebersamaan dan keindahan yang beragam. Menarik sekali ketika TGB mengambil satu tafsiran Ibnulqoyyim aljauziah dalam kitab zaadulmaad misal, maka hubbulwaton (cinta Tanah Air) yang merupakan cahaya fitrah dan cahaya akal ini jelas mendapatkan posisi yang tinggi dalam Islam.
Namun jika kemudian ada yang sengaja mengkotak-kotakkan dengan membenturkan kaum nasionalis yang jauh dari agama dan kaum agamawan yang tidak nasionalis, ini yang kemudian merupakan awal dari benturan di negeri ini.
Dalam menyikapi fenomena ini, justru TGB menyuguhkan sudut pandang yang futuristic dengan mengajak bangsa ini mengalihkan energi pada mutiara yang terkandung di sejarah negeri negeri ini.
Dalam implementasi Islam dan nasionalisme di Indonesia, justru sebenarnya perlu mengangkat keinginan para ulama pendahulu yang sebenarnya ingin mengkampanyekan sistim pengelolaan negeri di Nusantara ini menjadikan pelajaran justru bangsa-bangsa di dunia yang lain seperti bangsa Arab atau pun Eropa dan negeri lainnya.
Seperti diskursus dari ulama-ulama tentang Islam Nusantara misalnya, merupakan mutiara yang dapat diangkat untuk menjadi pelajaran bagi bangsa lain agar juga berkaca tentang implementasi nation state dari bangsa Indonesia.
Bukan malah sebaliknya menjiplak teori nasionalisme dan Islam dari bangsa lain kemudian menjadi pandangan yang memecah belah negeri kita sendiri. TGB menyatakan, Islam tidak turun dalam ruang yang kosong, Islam dan sejarah pembuatnya satu yaitu Allah SWT.
Dipenghujung narasi kebangsaan, kemudian TGB mewanti-wanti agar bangsa kita jangan salah langkah dengan selalu merujuk pada teori teori dari tulisan-tulisan yang sebenarnya lahir pada situasi ketika ulamanya saat disiksa dalam penjara yang diperlakukan sangat tidak wajar.
Wajar mereka menulis tentang kebencian dan perlawanan yang heroic.
Sangat waja,r jika tulisan penuh dengan kemarahan dan cacimaki yang sangat keras. Namun tidak wajar jika kita mengambil mentah-mentah dari tulisan tersebut. Jika demikian, yang salah adalah kita yang tidak bijaksana.Kembalilah pada sudut pandang yang integral nan penuh optimistis kekitaan, bahkan kita perlu mempelopori keyakinan bahwa sebenarnya negeri kita Indonesia dengan sekian perhelatan sejarahnya, memiliki rujukan pengalaman kenegaran dan keislaman yang sangat indah dan kaya, dan hal itu kiranya perlu mulai kita narasikan kepada dunia.
(*)*Mantan Ketua IPNU dan PMII Bojonegoro.T