”Dinasti” Kang Yoto dalam Lingkaran Politisi ”Kaum Sarungan”

Opini Oleh: H AAdib Hambali, Redaktur Senior, Pemerhati Politik di Bojonegoro

UNTUK kali pertama saya akan ikut coblosan di Pilkada Bojonegoro 2018 ini. Karena ber-KTP DKI Jakarta, dalam setiap pilbup dan pilgub sebelumnya hanya bisa menyaksikan anggota keluarga saya berangkat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Ada yang menarik saya perhatikan ketika mereka secara blak-blakan bicara siapa yang akan dipilih menjelang berangkat ke TPS. ”Aku mau nyoblos si A, suka kayaknya pintar.” Si kakak bilang, ”aku mau pilih si B ajalah.” Ibunya pun nyahut, ya tidak seperti si C kok. Aku mau pilih dia,”katanya sambil bareng-bareng melempar ketawa kecil.

Begitu cairnya mereka dalam keluarga saya terkait soal pilihan politik ini. Tidak ada paksaan dan intimidasi dalan keluarga. Begitu selesai penghitungan di TPS, yang pilihanya menang pun bersorak gembira.

Seperti inikah demokrasi di zaman now. Tentu beda dengan zaman old yang terkadang bisa bersitegang ketika berbeda pilihan. Bahkan berseteru gara-gara tidak sama yang dicoblos.

Memang ada kemungkinan anak-anak generasi milenia ini terpola oleh manuver elite, sehingga terkesan kuat ada politik demi mengejar kekuasaan tanpa gerakan ideologi yang mengakar.

Ideologi parpol sekadar tertuang dalam AD/ART. Namun ketika partai beroperasi di arena politik, uang dan kekuasaan menjadi panglima. Pijakan ideologinya adalah pragmatisme, alias ‘wani piro’?

Termasuk koalisi-koalisi yang terbangun di Pilkada Bojonegoro, jadi bukti partai mungkin gagal menjalankan kaderisasi dan perekrutan kader.

Maka muncul koalisi parpol di Bojonegoro mengusung Soehadi Moelyono-Mitroatin, perpaduan birokrat-politisi yang diusung Partai Demokrat dan Golkar.Kemudian, Mahfudhoh Suyoto-Kuswiyanto, diusung PAN, Nasdem dan Hanura. Juga H Basuki-Pudji Dewanto dengan gerbong PPP dan Gerindra. Serta Ana Mua’wanah-Wawan, koalisi PDIP-PKB, PKPI.

Yang menarik untuk dicermati adalah kehadiran tiga orang yang disebut-sebut kader NU, yaitu Ana Mua’wanah, Basuki dan Mitro’atin. Ketiganya akan menberi kebebasan pemilih warga NU. Itu positifnya.Negatifnya, membingungkan pemilih dari warga Nahdliyin.

Tidak ada satu calon pun yang secara institusional berangkat dari NU, karena bukan organisasi politik. Berdasarkan khittah, organisasi berlambang Jagad itu secara kelembagaan tidak terlibat politik praktis dan penggiringan dalam dukung-mendukung.

Ini juga berlaku bagi partai yang secara historis memiliki hubungan dengan NU seperti PKB yang kelahiranya difasilitasi oleh PBNU dan PPP yang lahir dari fusi Partai NU dan partai Islam.

Suara warga NU ini biasanya juga mencair karena ummat lebih mengikuti kiai-kiai di kelompok masing-masing, karena memiliki jalur-jalur alumni pesantren, selain jalur organisasi yang dulu ngetren dengan istilah politisi ”kaum sarungan.”

Maka diperkirakan banyak calon akan sowan karena lebih efektif jika silaturahmi mohon restu dan dukungan dari pintu ke pintu rumah kiai.

Sementara pemilih dari kelompok nasionalis, juga menyebar karena masing-masing kandidat dari tokoh NU itu berdampingan dengan kandidat dari segmen pemilih di kelompok tengah ini.

Seohadi Moelyono dan Basuki diprediksi memiliki pengaruh di pemilih birokrat. Termasuk Mahfudhoh Suyoto. Isteri Bupati itu selama hampir 10 tahun mendampingi tugas suami, sehingga kans lebih dikenal oleh pemilih kalangan birokrasi terbuka.

Apalagi Mahfudhoh ini disebut-sebut penerus ”dinasti” Suyoto. Strategi untuk mengangkat elektabilitas mungkin sudah dilakukan dengan berbagai bentuk seperti menancapkan kader-kader di akar rumput pemilih.Itu yang menjadi kelebihan pasangan dua kader Muhammadiyah Mahfudhoh-Kuswiyanto, meski hanya didukung PAN, NasDem, Hanura yang tidak besar.

Masih terlalu dini memprediksi keunggulan para kandidat ini, karena masih banyak variabel yang mesti dilalui dengan cara-cara positif, bukan dengan kampanye negatif.(*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *