Dinamika Politik Kaum ”Sarungan” Bojonegoro Jelang Pilbup 2018

Opini oleh: H Adib Hambali, Wakil Rois Syuriah MWC Dander

MENJELANG Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018,  dinamikan politik masyarakat Bojonegoro, Jawa Timur, mulai menggeliat. Sebagai sebuah pranata sosial, komunitas kiai dan gus (kiai sarungan), pun mulai menampakkan dinamikanya.

Fenomena terkini para kiai dan gus secara ‘berjamaah’ tampil ke panggung politik praktis menjelang Pilkada Bojonegoro yang digelar pertengahan Juni tahun depan.

Fenomena ini memantik waswas saya sebagai “Kiai Kampung,” menurut pengelompokkan Gus Dur, akan kemunduran para kiai pesantren. Kecemasan saya cukup beralasan karena ternyata gesekan tidak bisa dihindari.

Sejatinya, keterlibatan kiai di politik merupakan persoalan klasik yang dan lumrah. Namun sayogyanya di ranah high politic dalam rangka menyeru menegakkan keadilan, pemerataan, kemakmuan dan sebagainya.

Bagi sebagian kalangan lain, kiai seharusnya tidak masuk ke kubangan politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan keumatan. Alasannya, kiai adalah lembaga sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, serta menjadi payung semua golongan rahmatan lil’alamin.

Sementara politik praktis  mengharuskan kepamrihan, tendensius, dan kepentingan sesaat serta memiliki orientasi perjuangan yang sempit hanya pada kelompok tertentu, yakni massa pendukung. Kiai yang berpolitik praktis dikhawatirkan akan terjebak pada logika politik memanipulasi masyarakat basis untuk kepentingan sesaat, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup.

Akibatnya, kekuatan logika yang dimiliki kiai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian,  akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.

Misalnya, muncul aliansi kiai muda yang terdiri dari para gus. Ironisnya, mereka tidak segan-segan berseberangan dengan yang lebih sepuh dengan cara-cara yang tidak santun.

Dalam sistem masyarakat demokrasi, siapa pun berhak untuk berserikat dan berpolitik. Hanya saja jangan semua kiai berpolitik. Kalau kiai yang lugu serta lebih bermanfaat bagi masyarakat alangkah baiknya tetap di dunia pesantren mencetak ilmuwan muslim unggulan atau menjadi transformator masyarakat dengan semai kesejukan mengawal moral bangsa. 

Pesona politik terkadang membuat seseorang kehilangan idealismenya. Dulu, bisa saja seseorang menolak bahkan ‘mengharamkan’ dirinya bersentuhan dengan politik. Namun, karena kepentingan materi, hegemoni, prestise, dan kelancaran birokrasi, maka tak terelakkan lagi keterlibatan mereka dalam politik praktis.

Terjun ke politik praktis besar taruhannya. Bisa jadi agama dan politik bukan lagi pemersatu, tetapi menjadi faktor pemecah persatuan dan persaudaraan. Umat dan agama akan diseret ke politisasi yang paling pragmatis. Jatuh ke jurang politik rendahan dan tidak bermoral.

Akibatnya, Islam tidak lagi Islami dan keteladanan moral pun tak lagi didapati. Untuk itu, bagi kiai dan Gus di Bojonegoro, setidaknya menitikberatkan pada visi-misi khusus terkait dengan perpolitikan, yakni bagaimana pelaksanaan Pilkada 2018 di Bojonegoro berjalan dengan lancar, damai, adil dan demokratis serta tidak menimbulkan konflik antar masa pendukung masing-masing calon yang ada. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *